Bismillah.....
Imam Syafi’i rahimahullah dalam kitab al-Umm berkata:
“…dan
aku membenci al-ma’tam, yaitu proses berkumpul (di tempat keluarga
mayat) walaupun tanpa tangisan, karena hal tersebut hanya akan
menimbulkan bertambahnya kesedihan dan membutuhkan biaya, padahal beban
kesedihan masih melekat.” (al-Umm (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1393) juz
I, hal 279)
Tapi,,,,, ketika Islam datang ke tanah Jawa ini,
menghadapi kuatnya adat istiadat yang telah mengakar. Masyarakat begitu
berat untuk menerima islam. Mau masuk Islam tapi harus kehilangan adat
istiadat seperti selamatan-selamatan,dll... Ini mirip beratnya
masyarakat Romawi ketika disuruh masuk Nasrani tapi tidak mau kehilangan
perayaan kelahiran anak Dewa Matahari 25 Desember.
Dikutip
dalam sebuah naskah kuno tentang jawa yang tersimpan di musium Leiden,
Sunan Ampel memperingatkan Sunan Kalijogo yang masih melestarikan
selamatan tersebut:
Sunan Ampel berkata,
“Jangan ditiru perbuatan semacam itu karena termasuk bid’ah”.
Sunan Kalijogo menjawab:
“Biarlah
nanti generasi setelah kita ketika Islam telah tertanam di hati
masyarakat yang akan menghilangkan budaya tahlilan itu”.
Dalam
buku Kisah dan Ajaran Wali Songo yang ditulis H. Lawrens Rasyidi dan
diterbitkan Penerbit Terbit Terang Surabaya juga mengupas panjang lebar
mengenai masalah ini. Dimana Sunan Kalijaga, Sunan Kudus,dan Sunan
Muria (kaum abangan) berbeda pandangan mengenai adat istiadat dengan
Sunan Ampel, Sunan Giri dan Sunan Drajat (kaum putihan).
Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat lama seperti selamatan, bersaji, wayang dan gamelan dimasuki rasa keislaman.
Sunan Ampel berpandangan lain:
“Apakah
tidak mengkhawatirkannya di kemudian hari bahwa adat istiadat dan
upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama
Islam? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid’ah?”
Sunan kudus menjawabnya bahwa ia mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari akan ada yang menyempurnakannya. (hal 41, 64)
---------------------------------
Sunan
Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, dan terutama Sunan Giri berusaha
sekuat tenaga untuk menyampaikan ajaran Islam secara murni, baik
tentang aqidah maupun ibadah. Dan mereka menghindarkan diri dari bentuk
singkretisme ajaran Hindu dan Budha.
Tetapi sebaliknya Sunan
Kudus, Sunan Muria dan Sunan Kalijaga mencoba menerima sisa-sisa ajaran
Hindu dan Budha di dalam menyampaikan ajaran Islam. Sampai saat ini
budaya itu masih ada di masyarakat kita, seperti sekatenan, ruwatan,
shalawatan, tahlilan, upacara tujuh bulanan dll.
Pendekatan
Sosial budaya dipelopori oleh Sunan Kalijaga, putra Tumenggung
Wilwatika, Adipati Majapahit Tuban. Pendekatan sosial budaya yang
dilakukan oleh aliran Tuban memang cukup efektif, misalnya Sunan
Kalijaga menggunakan wayang kulit untuk menarik masyarakat jawa yang
waktu itu sangat menyenangi wayang kulit.
Dengan cara dan sikap
Sunan Kalijaga yang sedemikian rupa, maka ia satu-satunya Wali dari
Sembilan Wali di Jawa yang dianggap benar-benar wali oleh golongan
kejawen (Islam Kejawen/abangan), karena Sunan Kalijaga adalah
satu-satunya wali yang berasal dari penduduk asli Jawa (pribumi).
[Sumber
: Abdul Qadir Jailani , Peran Ulama dan Santri Dalam Perjuangan
Politik Islam di Indonesia, hal. 22-23, Penerbit PT. Bina Ilmu dan
Muhammad Umar Jiau al Haq, M.Ag, Syahadatain Syarat Utama Tegaknya
Syariat Islam, hal. 51-54, Kata Pengantar Muhammad Arifin Ilham
(Pimpinan Majlis Adz Zikra), Penerbit Bina Biladi Press.]
-------------------------------------------
Dari
sekelumit gambaran sejarah diatas, terlihat jelas bahwa sebenarnya
kegiatan selamatan, bersaji, sekatenan, ruwatan, tahlilan, dll....
adalah bid'ah, para walisongo sendiri yang mengatakan demikian. Tapi,
karena ingin agar Islam bisa lebih mudah diterima masyrakat pada masa
itu, ahirnya para wali (khususnya Sunan Kalijaga) mengambil"kebijakan"
lain.
Saya tak bermaksud menyalahkan Sunan Kali Jaga, bahkan beliau sendiri juga yang mengatakan,
“Biarlah
nanti generasi setelah kita ketika Islam telah tertanam di hati
masyarakat yang akan menghilangkan budaya tahlilan itu”.
Jelas sekali para wali Songo sendiri yang menginginkan agar suatu saat budaya tahlilan ini dihilangkan.
_________________________________
BONUS:
Sunan Bonang pernah berkata,
“Ee..mitraningsun!
Karana sira iki apapasihana sami-saminira Islam lan mitranira kang
asih ing sira lan anyegaha sira ing dalalah lan bid’ah“.(Lihat Het Book
van Mbonang)
Artinya: “Wahai saudaraku! Karena kalian semua
adalah sama-sama pemeluk Islam maka hendaklah saling mengasihi dengan
saudaramu yang mengasihimu. Kalian semua hendaklah mencegah dari
perbuatan sesat dan bid’ah.
=====>> Het Book van Mbonang
adalah sebuah dokumen yang menjadi sumber tentang walisongo yang
dipercayai sebagai dokumen asli dan valid, yang tersimpan di Museum
Leiden, Belanda. Dari dokumen ini telah dilakukan beberapa kajian oleh
beberapa peneliti.
Diantaranya thesis Dr. Bjo Schrieke tahun 1816,
dan Thesis Dr. Jgh Gunning tahun 1881, Dr. Da Rinkers tahun 1910, dan
Dr. Pj Zoetmulder Sj, tahun 193
Tidak ada komentar:
Posting Komentar