Senin, 24 Februari 2014

Adakah Bid’ah Hasanah? (Bag 2) – Semua bid’ah Adalah Sesat

DALIL YANG KEDUA:
Pendebat menetapkan adanya bid’ah hasanah dengan dalil, ucapan ‘Umar bin Khatthab radhiyallahu’anhu

نِعْمَ الْبِدْعَة هَذِهِ

Sebaik-baik bid’ah adalah ini (tarawih berjamaah).(HR. Bukhari)
Dalil ini tidak bisa digunakan sebagai penetapan adanya bid’ah hasanah dikarenakan beberapa alasan:
ALASAN PERTAMA:
Anggaplah kita terima dalalah (pendalilan) ucapan beliau seperti yang mereka maukan – bahwa bid’ah itu ada yang baik, namun sesungguhnya, kita kaum muslimin mempunyai satu pedoman; kita tidak boleh mempertentangkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam; dengan pendapat siapapun juga (selain beliau). Tidak dibenarkan kita membenturkan sabda beliau dengan ucapan Abu Bakar, meskipun dia adalah orang terbaik di umat ini sesudah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau dengan perkataan ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu ataupun yang lainnya.
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan:
“Hampir-hampir kalian ditimpa hujan batu dari langit. Aku katakan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam; bersabda demikian…demikian, (tapi) kalian mengatakan: Kata Abu Bakr dan ‘Umar begini…begini….”
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz rahimahullah mengatakan:
“Tidak ada pendapat seorangpun di atas suatu sunnah yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjalaninya.” (I’lamul Muwaqi’in 2/282)
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan:
“Kaum muslimin telah sepakat bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak halal baginya untuk meninggalkan sunnah itu karena pendapat (pemikiran) seseorang.” (I’lamul Muwaqi’in 2/282)
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengatakan:
“Barangsiapa yang menolak hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berarti dia (sedang) berada di tepi jurang kehancuran.” (Thobaqot Al Hanabilah 2/15, Al Ibanah 1/260)
ALASAN KEDUA:
Bahwasanya Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu mengatakan: نِعْمَ الْبِدْعَة هَذِهِ (sebaik-baik bid’ah adalah ini) ketika beliau mengumpulkan manusia untuk mengerjakan shoat tarawih, padahal shalat tarawih berjamaah ini bukanlah suatu bid’ah. Bahkan perbuatan tersebut termasuk sunnah dengan dalil yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam; pada suatu malam shalat di masjid, kemudian orang-orang mengikuti beliau. Kemudian keesokan harinya jumlah mereka semakin banyak. Setelah itu malam berikutnya (ketiga atau keempat) mereka berkumpul (menunggu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam;). Namun beliau tidak keluar. Pada pagi harinya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Sungguh aku telah melihat apa yang kalian lakukan. Dan tidak ada yang menghalangiku untuk keluar (shalat bersama kalian) kecuali kekhawatiran (kalau-kalau) nanti (shalat ini) diwajibkan atas kalian.” (HR. Al-Bukhari no. 1129)
Secara tegas beliau menyatakan di sini alasan mengapa beliau meninggalkan shalat tarawih berjamaah. Maka tatkala ‘Umar radhiallahu ‘anhu melihat alasan ini (kekhawatiran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) sudah tidak ada lagi, beliau menghidupkan kembali shalat tarawih berjamaah ini. Dengan demikian, jelaslah bahwa tindakan khalifah ‘Umar radhiallahu ‘anhu ini mempunyai landasan yang kuat yaitu perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri.
Hadits Aisyah ini juga menunjukkan dengan jelas bahwa sejak zaman Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sholat tarawih berjamaah telah disunnahkan, tidak sebagaimana yang dikatakan oleh pendebat.
ALASAN KETIGA:
Jika sudah jelas bahwa yang dikerjakan Umar radhiyallahu’anhu ini bukan termasuk Bid’ah, maka apakah makna bid’ah dalam ucapan beliau tersebut?
Sesungguhnya yang dimaksud bid’ah dalam ucapan Umar radhiyallahu’anhu adalah makna bid’ah secara bahasa, bukan makna secara syar’i. Adapun bid’ah menurut bahasa adalah “Apa-apa yang dikerjakan tanpa ada contoh sebelumnya.” (Lisanul Arab 8/6)
Ketika sholat tarawih dengan berjamaah ini tidak dikerjakan pada masa Abu Bakar dan pada awal masa Umar, maka kata “bid’ah” pada ucapan Umar adalah menurut bahasa. Maksudnya tidak ada contoh yang mendahuluinya.
Sedangkan menurut syar’I jelas bukan, karena sholat ini ada asalnya, yaitu dari apa yang telah dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.
Berkata Imam Asy Syatibi rahimahullah:
“Barangsiapa yang menamakan bid’ah dengan ibarat ini, maka tidak ada masalah dalam hal penamaan. Akan tetapi hal itu tidak dapat dijadikan dalil untuk mendukung adanya bid’ah yang sedang kita bicarakan (bid’ah hasanah). Karena hal tersebut merupakan pemindahan kalimat dari tempat yang semestinya.
Berikut kami kemukakan sebagian pendapat para Imam sebagai bukti terhadap yang telah kami sebutkan:
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah:
“Bid’ah itu ada dua macam:
Pertama: adakalanya bid’ah itu secara syar’i sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:
Sesungguhnya setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.”
Kedua: adakalanya bid’ah itu secara lughoh, sebagaimana perkataan ‘Amirul Mukminin Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu tentang pengumpulan mereka untuk melaksanakan sholat tarawih secara berjamaah dan dilakukan demikian seterusnya, yakni:

نِعْمَ الْبِدْعَة هَذِهِ

Sebaik-baik bid’ah adalah ini (tarawih berjamaah). (HR. Bukhari) (Tafsir Ibnu Katsir: surah Al Baqarah: 117)
Berkata Ibnu Rajab rahimahullah:
“Adapun sesuatu yang terjadi dari perkataan salaf tentang adanya sebagian bid’ah hasanah, yang dimaksud adalah bid’ah secara lughoh bukan menurut syar’I, seperti perkataan Umar radhiyallahu’anhu:

نِعْمَ الْبِدْعَة هَذِهِ

Sebaik-baik bid’ah adalah ini (tarawih berjamaah). (HR. Bukhari)
Maksudnya adalah, perbuatan ini (sholat tarawih berjamaah secara terus menerus –ag) tidak dilakukan sebelumnya, akan tetapi ada asal atau sumber syar’I yang perbuatan itu kembali kepadanya.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, hadits 28)
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
“Kebanyakan orang, menggunakan perkataan Umar نِعْمَ الْبِدْعَة هَذِهِ (sebaik-baik bid’ah adalah ini) sebagai dalil untuk mendukung adanya bid’ah hasanah. Padahal bid’ah disni adalah penamaan/penyebutan secara lughowi (bahasa), bukan penamaan/penyebutan secara syar’i. Karena, arti bid’ah menurut bahasa mencakup semua yang dikerjakan tanpa adanya contoh yang mendahuluinya. Adapun definisi bid’ah menurut syar’I adalah: Setiap apa-apa yang tidak ada dalil syar’I yang menunjukkan atasnya.” (Iqtidho Shirathal Mustaqim, hal. 276)
DALIL YANG KETIGA:
Untuk menguatkan pendapat bahwa ada bid’ah hasanah, pendebat berdalilkan dengan ucapan Imam Asy Syafi’I rahimahullah:
Bid’ah itu ada dua macam: Bid’ah Mahmudah (terpuji) dan Bid’ah Madzmumah (tercela), maka apa-apa yang sesuai dengan sunnah itu adalah terpuji, dan apa-apa yang menyelisihi sunnah itu adalah tercela.” (Hilyatul Auliya 9/113)
Dan berkata pula Imam Asy Syafi’I rahimahullah:
Suatu yang diada-adakan itu ada dua macam: Sesuatu yang diada-adakan menyelisihi kitab atau sunnah, atau atsar, atau ijma’, maka ini adalah bid’ah yang sesat; dan sesuatu yang diada-adakan dari kebaikan yang sedikitpun tidak menyelisihi sunnah, maka ini tidak tercela.” (Manaqibu Asy Safi’I oleh Al Baihaqi 1/469 dan Al Ba’its oleh Abi Syamah hal. 94)
Dalil ini tidak bisa digunakan sebagai penetapan adanya bid’ah hasanah dikarenakan beberapa alasan:
ALASAN PERTAMA:
Telah kita singgung didepan, bahwa tidak boleh perkataan seluruh manusia bertententangan dengan perkataan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Perkataan Rasulullah menjadi hujjah bagi setiap orang dan bukanlah perkataan seseorang dari manusia menjadi hujjah atas Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.
Telah berkata Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu’anhu:
“Tidaklah ada seorangpun selain Nabi shallallahu’alaihi wa sallam melainkan pendapatnya dapat diambil dan ditinggalkan.”
Telah berkata Imam Asy Syafi’I rahimahullah:
“Setiap apa yang aku katakan, apabila menyelisihi hadits dari Rasulullah, maka hadits Rasulullah itulah yang lebih utama (untuk diikuti). Janganlah kalian bertaqlid kepadaku.” (Hilyatul Auliya’ 9/108)
ALASAN KEDUA:
Sesungguhnya orang yang mau berfikir terhadap perkataan Imam Syafi’I rahimahullah tersebut, maka tidak diragukan lagi bahwa yang dimaksud oleh Imam Asy Syafi’I dengan Bid’ah Mahmudah (terpuji) adalah pengertian bid’ah secara bahasa (lughoh) dan bukan secara syar’I.
Dengan dalil, bahwasanya semua yang bid’ah menurut syariat adalah menyelisihi kitab dan sunnah, dan Imam Asy Syafi’I sendiri memberi batasan bid’ah yang terpuji yaitu yang tidak bertentangan/menyelisihi Al Qur’an dan Sunnah. Padahal bid’ah secara syar’I jelas-jelas menyelisihi firman Allah subhanahu wa ta’ala:
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu. (Al Maidah: 3)Dan menyelisihi sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:
Barangsiapa mengada-adakan dalam urusan kami ini perkara yang tidak ada asalnya, maka hal itu tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)Dan masih banyak lagi ayat dan hadits yang lainnya.
Berkata Ibnu Rajab rahimahullah:
“Yang dimaksud oleh Imam Asy Syafi’I rahimahullah, yang telah disebutkan sebelumnya, adalah bahwasanya pada dasarnya bid’ah yang tercela (Bid’ah Madzmumah) adalah sesuatu yang tidak ada asalnya dalam syariat, yang dia akan kembali padanya, inilah bid’ah menurut syar’i. Adapun bid’ah yang terpuji (Bid’ah Mahmudah) adalah segala yang sesuai dengan sunnah, yakni sesuatu yang ada dasarnya dari sunnah yang kembali padanya, hanya saja pemahaman ini secara lughoh (bahasa) bukan secara syar’I, karena sesuai dengan sunnah. (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam hadits no. 28)
Dan bid’ah secara lughoh (bahasa) yang dimaksud oleh Imam Asy Syafi’I rahimahullah dalam perkataan beliau “bid’ah terpuji”, misalnya: penulisan hadits dan sholat tarawih, maka benarlah bahwa definisi bid’ah disini adalah secara lughoh (bahasa) karena hal ini tidak ada contoh yang mendahuluinya; adapun menurut definisi syar’I, ini tidak benar karena perbuatan tersebut ada asalnya dari sunnah.
Kesimpulan dari perkataan diatas:
Bahwa setiap bid’ah yang dikatakan terpuji, bukanlah bid’ah, akan tetapi diduga bid’ah, dan jika memang telah dipastikan sesuatu itu adalah bid’ah, maka bid’ah itu jelek secara qoth’I (pasti), karena menyelisihi Al Qur’an dan Sunnah.
ALASAN KETIGA:
Sudah mahsyur tentang Imam Asy Syafi’I rahimahullah, bahwasanya beliau sangat menjaga dalam mengikuti Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan sangat benci terhadap orang yang menolak hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Terbukti ketika beliau ditanya tentang suatu permasalahan, maka beliau mengatakan: “Telah diriwayatkan tentang hal tersebut demikian dan demikian dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam”, maka ada yang bertanya “Wahai Abu ‘Abdillah apakah kamu berpendapat dengannya?” Maka Imam Asy Syafi’I gemetar (karena marah) dan tergoncang, seraya beliau berkata “Wahai kamu, bumi manakah yang akan kupijak dan langit manakan yang akan kunaungi, apabila aku telah meriwayatkan suatu hadits dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam kemudian aku tidak berpendapat dengan hadits tersebut? Ya, wajib bagiku dengan pendengaran dan penglihatanku” (Shifatu sufwah 2/256)
Maka bagaimana mungkin dalam keadaan beliau yang demikian ini, beliau menyelisihi hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (semua bid’ah adalah sesat).
Bahkan lebih pantas perkataan Imam Asy Syafi’I ditempatkan pada tempatnya yang tidak bertentangan dengan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Sesungguhnya yang dimaksud Imam Asy Syafi’I rahimahullah “bid’ah” dalam ucapannya ini adalah makna secara lughowi.
Telah berkata Imam Asy Syafi’I rahimahullah:
“Apabila kalian mendapati di dalam kitabku menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, maka katakanlah dengan sunnah itu dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Siyar A’lamun Nubala’ 10/34)
Imam Asy Syafi’I rahimahullah mengatakan:
“Setiap hadits dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, maka itu adalah pendapatku (perkataanku) walaupun kalian tidak mendengarnya dariku.” (Siyar A’lamun Nubala’ 10/34)
Imam Asy Syafi’I rahimahullah mengatakan:
“Setiap apa yang aku katakan, apabila menyelisihi hadits dari Rasulullah, maka hadits rasulullah itulah yang lebih utama (untuk diikuti). Janganlah kalian bertaqlid kepadaku.” (Hilyatul Auliya’ 9/108)
Imam Asy Syafi’I rahimahullah mengatakan:
“Setiap masalah yang benar datangnya dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menurut ahlu Naql sementara ia menyelisihi apa yang aku katakan, maka saya akan kembali merujuk pada hadits itu selama hidupku dan setelah matiku.” (Tawaliy At Ta’sisi 108)
DALIL YANG KEEMPAT:
Untuk memperkuat argumen tentang adanya bid’ah hasanah, maka pendebat memberikan contoh aplikasi bid’ah hasanah dengan membawakan hadits:
Rifa’ah bin Rafi’ ar-Ruzaqi radhiyallahu’anhu berkata, “Pada suatu hari kami shalat dibelakang Nabi. Ketika beliau mengangkat kepala dari ruku sambil mengucapkan, “Sami’allahu liman hamidah” (semoga Allah mendengarkan orang yang memuji-Nya), maka seseorang laki-laki mengucapkan, “Rabbana walakal hamdu hamdan katsiiran thayyiban mubaraakan fiihi” (Wahai Tuhan kami, hanya bagiMulah segala puji dengan pujian yang banyak, baik, dan diberkahi). Setelah beliau berpaling (salam), beliau bertanya, ‘Siapakah orang yang mengucapkannya?’ Ia menjawab, ‘Saya.’ Beliau bersabda, ‘Saya telah melihat tiga puluh lebih malaikat bersegera, entah yang mana yang pertama menulisnya.’” (HR. Bukhari no. 799)
Hadits ini tidak bisa dijadikan sebagai dalil tentang adanya bid’ah hasanah. Hal ini dikarenakan beberapa alasan:
ALASAN PERTAMA:
Hadits tersebut sama sekali tidak menunjukkan bahwa bacaan I’tidal tersebut tidak diajarkan terlebih dahulu oleh Rasulullah. Tidak bisa dikatakan bahwa bacaan tersebut berasal dari sahabat Rifa’ah bin Rafi’ ar-Ruzaqi radhiyallahu’anhu tanpa terlebih dahulu mencontohnya dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.
ALASAN KEDUA:
Seandainya hal ini diperbolehkan, maka itu hanya ketika syari’at belum sempurna, namun ketika syari’at islam telah Allah Ta’ala sempurnakan maka tidak boleh kita menambahkan sesuatu kepada yg sudah sempurna, kalau kita menambahkan berarti kita menganggap bahwa agama ini belum sempurna atau Nabi shallallahu’alaihi wa sallam berkhianat dengan cara tidak menyampaikan kesempurnaan itu, hal ini sebagaimana ucapan Imam Malik rahimahullah:
“Barangsiapa mengada-adakan di dalam islam suatu kebid’ahan yang dia melihatnya sebagai suatu kebaikan, ia telah menuduh bahwa Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam mengkhianati risalah, karena Allah Ta’ala berfirman: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.Maka sesungguhnya yang tidak menjadi bagian dari agama pada hari itu (hari pada saat ayat ini turun –ag), tidak menjadi bagian dari agama pula pada hari ini.” (Al I’tishom, Imam Asy Syatibi 1/64)
ALASAN KETIGA:
Hal itu terjadi ketika Nabi shallallahu’alaihi wa sallam masih hidup, sehingga ada yang bisa mengoreksi atau Allah Ta’ala menurunkan wahyu untuk koreksi kesalahan atau menyatakan benarnya. Adapun saat ini, siapa yang akan mengoreksi jika salah atau membenarkan jika sudah benar?!
ALASAN KEEMPAT:
Hampir sama dengan sebelumnya, bahwa yang menetapkan hal itu disyari’atkan adalah Allah Ta’ala melalui lisan Rasul-Nya, kalau saat ini seorang berbuat bid’ah apakah hal itu dari ketetapan Allah Ta’ala atau dari dirinya?! Kalau dari ketetapan Allah Ta’ala maka melalui lisan siapa hal itu disampaikan?!
selesai…


http://abuyahya8211.wordpress.com/

Adakah Bid’ah Hasanah? (Bag I) – Semua bid’ah Adalah Sesat

Bismillah..
Segala puji bagi Allah Rabb sekalian alam, sholawat dan salam bagi Nabi yang ummiy Al Amin, juga untuk keluarga dan para sahabatnya.
Suatu hal yang seringkali menjadi perbincangan adalah penetapan ada atau tidaknya bid’ah hasanah dalam dinul islam yang telah Allah sempurnakan ini.
Maka dalam tulisan saya ini, insya allah pembahasan akan saya titik beratkan pada tiga hal berikut ini:
1. Penegasan bahwa semua bid’ah adalah sesat, dengan dalil dari Al Qur’an dan Sunnah serta Atsar dari para sahabat Rasulullah, sesuai dengan penjelasan para ulama
2. Penjelasan dalil-dalil yang digunakan oleh orang yang menganggap adanya bid’ah hasanah, khususnya dalil-dalil yang biasa digunakan oleh pendebat
3. Penegasan bahwa tidak ada bid’ah hasanah dalam islam
Barangsiapa yang bersikap adil dalam membaca tulisan ini, maka akan dapat mengetahui secara pasti bahwasanya tidak ada bid’ah hasanah dalam islam. Walaupun hawa nafsu sebagian manusia menolaknya.
Maka aku wasiatkan kepada diri kami sendiri dan kepada saudaraku semuanya, untuk mengingat kembali firman Allah subhanahu wa ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biar pun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau pun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (An Nisaa: 135)
Jika hal ini telah dipahami, maka saya akan memulai untuk masuk kepada pembahasan inti dari tulisan ini.

Poin Pertama: Penegasan Kembali, Bahwa Semua Bid’ah Adalah Sesat
Poin ini hendaknya benar-benar mendapat perhatian yang lebih dari pembaca, dan hendaknya membacanya dengan sikap adil dan tidak memihak kepada kebatilan, disini akan disebutkan dalil-dalil dari Al Qur’an yang mulia dan Sunnah yang suci tentang sesatnya perbuatan bid’ah, beserta beberapa penjelasan dari para ulama tentang dalil-dalil tersebut.
Dalil Pertama:
Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al Maidah: 3)
Telah berkata Imam Malik bin Anas rahimahullah:
“Barangsiapa mengada-adakan di dalam islam suatu kebid’ahan yang dia melihatnya sebagai suatu kebaikan, ia telah menuduh bahwa Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam mengkhianati risalah, karena Allah Ta’ala berfirman: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.”Maka sesungguhnya yang tidak menjadi bagian dari agama pada hari itu (hari pada saat ayat ini turun –ag), tidak menjadi bagian dari agama pula pada hari ini.” (Al I’tishom, Imam Asy Syatibi 1/64)
Berkata Al Imam Asy Syaukani rahimahullah:
“Maka sungguh, apabila Allah subhanahu wa ta’ala telah menyempurnakan agamaNya sebelum mematikan Nabi-Nya Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam, bagaimana dengan pendapat orang yang mengada-adakan setelah Allah menyempurnakan agamaNya?! Seandainya sesuatu yang mereka ada-adakan termasuk dalam urusan agama, berarti (mereka menyatakan bahwa –ag) belum sempurna agama ini, ini berarti mereka telah menolak Al Qur’an, dan jika apa yang mereka ada-adakan bukan termasuk dari urusan agama, maka apa faedahnya menyibukkan diri dengan sesuatu yang bukan dari urusan agama?
Ini adalah hujjah yang terang dan dalil yang agung, tidak mungkin orang yang mengandalkan akalnya dapat mempertahankan hujjahnya selama-lamanya. Maka jadikanlah ayat yang mulia ini sebagai hujjah yang pertama kali memukul wajah ra’yi (orang yang mengandalkan akalnya) dan menusuk hidung-hidung mereka dan mematahkan hujjah mereka. (Al Qoulul Mufid fi Adillati Al Ijtihad wa At Taqlid hal. 38)
Dalil Kedua:
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda
“Barangsiapa yang hidup diantara kalian sepeninggalku, niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu kalian wajib berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin yang berpetunjuk (yang datang) sesudahku, gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian. Dan jauhilah perkara-perkara baru yang diada-adakan (dalam urusan agama, -ag), karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ad Darimi)
Telah berkata Al Imam Ibnu rajab rahimahullah:
“Sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (semua bid’ah adalah sesat) merupakan kata yang menyeluruh, dan tidak ada pengecualian sedikitpun dan merupakan dasar yang agung dari dasar-dasar agama.” (Jami’ul Ilmi hal. 549)
Telah berkata Al Imam Ibnu Hajar rahimahullah:
“Sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (semua bid’ah adalah sesat) merupakan qoidah syar’iyyah yang menyeluruh baik lafadz maupun maknanya. Adapun lafadznya, seolah-olah mengatakan “Ini hukumnya bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat.”
Maka, bid’ah tidak termasuk bagian dari syariat, karena semua syariat adalah petunjuk (bukan kesesatan –ag), apabila telah tetap bahwa hukum yang disebut itu adalah bid’ah, maka ditetapkanlah كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (semua bid’ah adalah sesat) baik secara lafadz maupun maknanya, dan inilah yang dimaksud. (Fathul Baari 13/254)
Berkata Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah:
“Sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (semua bid’ah adalah sesat) makna yang terkandung didalamnya bersifat menyeluruh, umum, mencakup dan didukung dengan kata yang kuat. Mencakup dan umum pula yaitu pada lafadz كُلُّ (semua). Maka segala sesuatu yang didakwahkan sebagai bid’ah hasanah, jawabannya adalah dengan ucapan diatas, sehingga tidak ada pintu masuk bagi ahlul bid’ah untuk menjadikan bid’ah mereka sebagai bid’ah hasanah, dan ditangan kami ada pedang yang sangat tajam dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, yakni كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (semua bid’ah adalah sesat).
Pedang yang sangat tajam ini dibuat di atas nubuwah dan risalah, dan tidak dibuat di atas sesuatu yang goyah, dan bentuk kalimat yang digunakan oleh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam ini sangat jelas, maka tidak mungkin seseorang menandingi pedang yang tajam ini dengan mengatakan adanya bid’ah hasanah (bid’ah yang baik –ag), sementara Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (semua bid’ah adalah sesat). (Al Ibda fi Kamalisy Syar’i wa Khothiri Al Ibtida’ hal. 13)
Dalil Ketiga:
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa mengada-adakan dalam urusan kami ini perkara yang tidak ada asalnya, maka hal itu tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Berkata Al Imam Asy Syaukani rahimahullah:
“Hadits ini termasuk pondasi pokok agama, karena termuat di dalamnya banyak hukum yang tidak bisa dibatasi. Betapa jelas sumber dalil untuk membatalkan ahli fiqh yang berpendapat bahwa bid’ah itu terbagi menjadi beberapa bagian, dan penolakan mereka secara khusus tentang sebagian di dalamnya, sementara tidak ada pengkhususan (yang dapat diterima) baik dari dalil aqli maupun naqli (dari qur’an maupun sunnah –ag)
Dalil Keempat:

قَالَ عَبْدُ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رضي الله عنه اِتَّبِعُوْا وَلاَ تَبْتَدِعُوْا، فَقَدْ كُفِيْتُمْ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

Berkata Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu’anhu: “Ikutilah (tuntunan rasulullah –ag), dan jangan kalian berbuat bid’ah, sungguh telah cukup bagi kalian, dan semua bid’ah adalah sesat.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Baththah dalam Al Ibanah no 175 (1/327, 328), dan Al Lalika’I no. 104 (1/86))
Dalil Kelima:
Berkata Abdullah bin Umar radhiyallaahu’anhu: “Semua bid’ah adalah sesat, walaupun manusia melihatnya baik.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Baththah dalam Al Ibanah no 205 (1/339), dan Al Lalika’I no. 126 (1/92))
Dengan ini jelaslah bahwa semua bid’ah adalah sesat, sebagaimana penjelasan ulama terhadap Ayat Al Qur’an dan Hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam yang menerangkannya.

Poin Kedua: Penjelasan dalil-dalil yang digunakan oleh orang yang menganggap adanya bid’ah hasanah, khususnya dalil-dalil yang digunakan oleh pendebat.
DALIL YANG PERTAMA:
Pendebat menetapkan dua macam bid’ah; bid’ah yang memberikan petunjuk dan bid’ah kesesatan, pendebat berdalilkan dengan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:

مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ . ومَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah (sunnah yang baik) dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu sunnah sayyiah (sunnah yang jelek) dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR. Muslim)
Dalil ini tidak bisa digunakan sebagai penetapan adanya bid’ah hasanah dikarenakan beberapa alasan:
ALASAN PERTAMA:
Bahwasanya makna مَنْ سَنَّ (Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah) pada hadits diatas ialah: Mengerjakan amal dalam rangka melaksanakan atau mengikuti, bukan dengan membuat syariat yang baru. Adapun maksud hadits tersebut adalah; beramal dengan apa-apa yang telah ditetapkan dalam sunnah nabawi, hal ini sebagaimana yang ditunjukkan oleh Asbabul wurud hadits ini, yaitu tentang shodaqoh yang telah disyariatkan.
Sababul wurud (sebab terjadinya) hadits ini sudah dikenal, yaitu ketika orang-orang Arab yang miskin datang menemui Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam. Beliau trenyuh melihat keadaan mereka dan merasa sangat sedih karenanya. Maka beliau pun memerintahkan dan mendorong para shahabatnya untuk bersedekah. Lalu berdirilah seseorang dari kalangan shahabat untuk memberikan sedekahnya berupa makanan sepenuh telapak tangannya. Kemudian manusia pun berturut-turut memberikan sedekah karena mencontoh orang ini, karena memang dialah yang pertama kali membuka jalan bagi mereka. Saat itulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً

Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam…”
Orang ini telah melakukan amalan sunnah, yaitu bersedekah dan membantu orang yang membutuhkan. Sedangkan sedekah diperintahkan dalam Al-Kitab dan As-Sunnah, maka sedekah merupakan sunnah hasanah, bukan bid’ah. Siapa yang menghidupkan, mengamalkan, dan menerangkannya pada manusia hingga mereka pun mengamalkan dan mencontohnya dalam melakukan amalan/sunnah tersebut, orang itu mendapatkan pahala semisal pahala mereka.” (Dhahiratut Tabdi’ wat Tafsiq wat Takfir wa Dhawabithuha, hal. 42, 47-48)
Al-Imam Abu Ishaq Asy-Syathibi rahimahullah dalam kitabnya yang masyhur Al-I’tisham (1/233 dan 235) menyatakan bahwa dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas tidaklah sama sekali menunjukkan bolehnya mengada-adakan perkara baru, tapi justru menunjukkan pengamalan suatu sunnah yang tsabit (pasti) keberadaannya, sehingga sunnah hasanah bukanlah perkara mubtada’ah (yang diada-adakan/ bid’ah).
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata ketika mensyarah (menjelaskan) hadits yang agung ini: “Dalam hadits ini ada dorongan untuk mengawali melakukan amalan-amalan kebaikan dan mengerjakan sunnah-sunnah hasanah (menghidupkan perkara kebaikan yang telah ditinggalkan oleh orang-orang dan menghidupkan sunnah yang telah mati, –ag.). Dan (dalam hadits ini juga) terdapat peringatan untuk tidak melakukan perkara kebatilan dan kejelekan.”
Beliau rahimahullah juga menyatakan bahwa hadits ini menunjukkan keutamaan yang besar bagi orang yang memulai melakukan satu amalan kebaikan dan menjadi pembuka pintu amalan ihsan/ kebaikan bagi lainnya. Dan barangsiapa yang melakukan sunnah hasanah, ia akan mendapatkan pahala semisal dengan pahala-pahala yang didapatkan oleh orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut (karena mencontohnya) semasa hidupnya ataupun setelah matinya sampai hari kiamat. Dan sebaliknya, barangsiapa membuat sunnah sayyiah, niscaya ia akan mendapatkan dosa semisal dosa orang-orang yang menirunya dalam melakukan sunnah tersebut semasa hidupnya atau sepeninggalnya sampai hari kiamat. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 7/105-106, 16/443-444)
ALASAN KEDUA:
Bahwasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً (barangsiapa yang mengerjakan dalam islam sunnah yang baik), sementara beliau juga bersabda كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (semua bid’ah adalah sesat).
Sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam saling mendukung antara satu dengan yang lainnya, dan tidak mungkin muncul dari Ash-Shadiqul Mashduq (Rasul yang benar dan dibenarkan) Shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu perkataan yang mendustakan ucapannya yang lain. Tidak mungkin pula perkataan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam saling bertentangan. Maka dari semua sabda beliau dapat diketahui bahwa maksud hadits diatas adalah menghidupkan kembali sunnah dan memunculkannya ke permukaan.
Dengan alasan ini, maka tidak boleh kita mengambil satu hadits dan mempertentangkannya dengan hadits yang lain. Karena sesungguhnya ini adalah seperti perbuatan orang yang beriman kepada sebagian Al-Kitab tetapi kafir kepada sebagian yang lain.
ALASAN KETIGA:
Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan مَنْ سَنَّ (barangsiapa membuat sunnah), beliau tidak mengatakan مَنِ ابْتَدَعَ (barangsiapa yang membuat bid’ah).
Juga mengatakan فِي اْلإِسْلاَمِ (dalam Islam). Sedangkan bid’ah bukan dari ajaran Islam.
Beliau juga mengatakan حَسَنَةً (yang baik). Dan perbuatan bid’ah itu bukanlah sesuatu yang hasanah (baik).
Tidak ada persamaan antara As Sunnah dengan bid’ah, karena sunnah itu adalah jalan yang diikuti, sedangkan bid’ah adalah perkara baru yang diada-adakan di dalam agama.
ALASAN KEEMPAT:
Tidak satupun kita dapatkan keterangan yang dinukil dari salafush shalih menyatakan bahwa mereka menafsirkan Sunnah Hasanah itu sebagai bid’ah yang dibuat-buat sendiri oleh manusia.
Bersambung…

Jumat, 21 Februari 2014

Surat An-Nisa’, Satu Bukti Islam Memuliakan Wanita

Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah

Berbekal pengetahuan tentang Islam yang tipis, tak sedikit kalangan yang dengan lancangnya menghakimi agama ini, untuk kemudian menelorkan kesimpulan-kesimpulan tak berdasar yang menyudutkan Islam. Salah satunya, Islam dianggap merendahkan wanita atau dalam ungkapan sekarang ‘bias jender’. Benarkah?
Sudah kita maklumi keberadaan wanita dalam Islam demikian dimuliakan, terlalu banyak bukti yang menunjukkan kenyataan ini. Sampai-sampai ada satu surah dalam Al-Qur`anul Karim dinamakan surah An-Nisa`, artinya wanita-wanita, karena hukum-hukum yang berkaitan dengan wanita lebih banyak disebutkan dalam surah ini daripada dalam surah yang lain. (Mahasinut Ta`wil, 3/6)
Untuk lebih jelasnya kita lihat beberapa ayat dalam surah An-Nisa` yang berbicara tentang wanita.
1. Wanita diciptakan dari tulang rusuk laki-laki.
Surah An-Nisa` dibuka dengan ayat:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً
“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu dan dari jiwa yang satu itu Dia menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Dia memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (An-Nisa`: 1)
Ayat ini merupakan bagian dari khutbatul hajah yang dijadikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembuka khutbah-khutbah beliau. Dalam ayat ini dinyatakan bahwa dari jiwa yang satu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan pasangannya. Qatadah dan Mujahid rahimahumallah mengatakan bahwa yang dimaksud jiwa yang satu adalah Nabi Adam ‘alaihissalam. Sedangkan pasangannya adalah Hawa. Qatadah mengatakan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. (Tafsir Ath-Thabari, 3/565, 566)
Dalam hadits shahih disebutkan:
إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلْعٍ، وَِإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلْعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهَا، وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ وَفِيْهَا عِوَجٌ
“Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk. Dan sungguh bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah yang paling atasnya. Bila engkau ingin meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Dan jika engkau ingin bersenang-senang dengannya, engkau bisa bersenang-senang namun padanya ada kebengkokan.” (HR. Al-Bukhari no. 3331 dan Muslim no. 3632)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini ada dalil dari ucapan fuqaha atau sebagian mereka bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk. Hadits ini menunjukkan keharusan berlaku lembut kepada wanita, bersikap baik terhadap mereka, bersabar atas kebengkokan akhlak dan lemahnya akal mereka. Di samping juga menunjukkan dibencinya mentalak mereka tanpa sebab dan juga tidak bisa seseorang berambisi agar si wanita terus lurus. Wallahu a’lam.”(Al-Minhaj, 9/299)
2. Dijaganya hak perempuan yatim.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُوا
“Dan jika kalian khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bilamana kalian menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita lain yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk kalian tidak berlaku aniaya.” (An-Nisa`: 3)
Urwah bin Az-Zubair pernah bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى maka Aisyah radhiyallahu ‘anha menjawab, “Wahai anak saudariku1. Perempuan yatim tersebut berada dalam asuhan walinya yang turut berserikat dalam harta walinya, dan si wali ini ternyata tertarik dengan kecantikan si yatim berikut hartanya. Maka si wali ingin menikahinya tanpa berlaku adil dalam pemberian maharnya sebagaimana mahar yang diberikannya kepada wanita lain yang ingin dinikahinya. Para wali pun dilarang menikahi perempuan-perempuan yatim terkecuali bila mereka mau berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yatim serta memberinya mahar yang sesuai dengan yang biasa diberikan kepada wanita lain. Para wali kemudian diperintah untuk menikahi wanita-wanita lain yang mereka senangi.” Urwah berkata, “Aisyah menyatakan, ‘Setelah turunnya ayat ini, orang-orang meminta fatwa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perkara wanita, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat:
وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ
“Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita.” (An-Nisa`: 127)
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat yang lain:
وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ
“Sementara kalian ingin menikahi mereka (perempuan yatim).” (An-Nisa`: 127)
Salah seorang dari kalian (yang menjadi wali/pengasuh perempuan yatim) tidak suka menikahi perempuan yatim tersebut karena si perempuan tidak cantik dan hartanya sedikit. Maka mereka (para wali) dilarang menikahi perempuan-perempuan yatim yang mereka sukai harta dan kecantikannya kecuali bila mereka mau berbuat adil (dalam masalah mahar, pent.). Karena keadaan jadi terbalik bila si yatim sedikit hartanya dan tidak cantik, walinya enggan/tidak ingin menikahinya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 4574 dan Muslim no. 7444)
Masih dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ قُلِ اللهُ يُفْتِيكُمْ فِيهِنَّ وَمَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ فِي يَتَامَى النِّسَاءِ اللاَّتِي لاَ تُؤْتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ
Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita. Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepada kalian tentang mereka dan apa yang dibacakan kepada kalian dalam Al-Qur`an tentang para wanita yatim yang kalian tidak memberi mereka apa yang ditetapkan untuk mereka sementara kalian ingin menikahi mereka.” (An-Nisa`: 127)
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
أُنْزِلَتْ فِي الْيَتِيْمَةِ، تَكُوْنُ عِنْدَ الرَّجُلِ فَتَشْرِكُهُ فِي مَالِهِ، فَيَرْغَبُ عَنْهَا أَنْ يَتَزَوَّجَهَا وَيَكْرَهُ أَنْ يُزَوِّجَهَا غَيْرَهُ، فَيَشْرَكُهُ فِي ماَلِهِ، فَيَعْضِلُهَا، فَلاَ يَتَزَوَّجُهَا وَيُزَوِّجُهَا غَيْرَهُ.
“Ayat ini turun tentang perempuan yatim yang berada dalam perwalian seorang lelaki, di mana si yatim turut berserikat dalam harta walinya. Si wali ini tidak suka menikahi si yatim dan juga tidak suka menikahkannya dengan lelaki yang lain, hingga suami si yatim kelak ikut berserikat dalam hartanya. Pada akhirnya, si wali menahan si yatim untuk menikah, ia tidak mau menikahinya dan enggan pula menikahkannya dengan lelaki selainnya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 5131 dan Muslim no. 7447)
3. Cukup menikahi seorang wanita saja bila khawatir tidak dapat berlaku adil secara lahiriah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
“Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki.” (An-Nisa`: 3)
Yang dimaksud dengan adil di sini adalah dalam perkara lahiriah seperti adil dalam pemberian nafkah, tempat tinggal, dan giliran. Adapun dalam perkara batin seperti rasa cinta dan kecenderungan hati tidaklah dituntut untuk adil, karena hal ini di luar kesanggupan seorang hamba. Dalam Al-Qur`anul Karim dinyatakan:
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ
“Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kalian terlalu cenderung kepada istri yang kalian cintai sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” (An-Nisa`: 129)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan ketika menafsirkan ayat di atas, “Maksudnya, kalian wahai manusia, tidak akan mampu berlaku sama di antara istri-istri kalian dari segala sisi. Karena walaupun bisa terjadi pembagian giliran malam per malam, namun mesti ada perbedaan dalam hal cinta, syahwat, dan jima’. Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ‘Abidah As-Salmani, Mujahid, Al-Hasan Al-Bashri, dan Adh-Dhahhak bin Muzahim rahimahumullah.”
Setelah menyebutkan sejumlah kalimat, Ibnu Katsir rahimahullah melanjutkan pada tafsir ayat: فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ maksudnya apabila kalian cenderung kepada salah seorang dari istri kalian, janganlah kalian berlebih-lebihan dengan cenderung secara total padanya, فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ “sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” Maksudnya istri yang lain menjadi terkatung-katung. Kata Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Al-Hasan, Adh Dhahhak, Ar-Rabi` bin Anas, As-Suddi, dan Muqatil bin Hayyan, “Makna كَالْمُعَلَّقَةِ, seperti tidak punya suami dan tidak pula ditalak.” (Tafsir Al-Qur`anil Azhim, 2/317)
Bila seorang lelaki khawatir tidak dapat berlaku adil dalam berpoligami, maka dituntunkan kepadanya untuk hanya menikahi satu wanita. Dan ini termasuk pemuliaan pada wanita di mana pemenuhan haknya dan keadilan suami terhadapnya diperhatikan oleh Islam.
4. Hak memperoleh mahar dalam pernikahan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَءَاتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
“Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari mahar tersebut dengan senang hati maka makanlah (ambillah) pemberian itu sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya.” (An-Nisa`: 4)
5. Wanita diberikan bagian dari harta warisan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَاْلأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَاْلأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian dari harta peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (An-Nisa`: 7)
Sementara di zaman jahiliah, yang mendapatkan warisan hanya lelaki, sementara wanita tidak mendapatkan bagian. Malah wanita teranggap bagian dari barang yang diwarisi, sebagaimana dalam ayat:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا
“Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewarisi wanita dengan jalan paksa.” (An-Nisa`: 19)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menyebutkan, “Dulunya bila seorang lelaki di kalangan mereka meninggal, maka para ahli warisnya berhak mewarisi istrinya. Jika sebagian ahli waris itu mau, ia nikahi wanita tersebut dan kalau mereka mau, mereka nikahkan dengan lelaki lain. Kalau mau juga, mereka tidak menikahkannya dengan siapa pun dan mereka lebih berhak terhadap si wanita daripada keluarga wanita itu sendiri. Maka turunlah ayat ini dalam permasalahan tersebut.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 4579)
Maksud dari ayat ini, kata Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah, adalah untuk menghilangkan apa yang dulunya biasa dilakukan orang-orang jahiliah dari mereka dan agar wanita tidak dijadikan seperti harta yang diwariskan sebagaimana diwarisinya harta benda. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 5/63)
Bila ada yang mempermasalahkan, kenapa wanita hanya mendapatkan separuh dari bagian laki-laki seperti tersebut dalam ayat:
يُوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ اْلأُنْثَيَيْنِ
“Allah mewasiatkan kepada kalian tentang pembagian warisan untuk anak-anak kalian, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan….” (An-Nisa`: 11)
Maka dijawab, inilah keadilan yang sesungguhnya. Laki-laki mendapatkan bagian yang lebih besar daripada wanita karena laki-laki butuh bekal yang lebih guna memberikan nafkah kepada orang yang di bawah tanggungannya. Laki-laki banyak mendapatkan beban. Ia yang memberikan mahar dalam pernikahan dan ia yang harus mencari penghidupan/penghasilan, sehingga pantas sekali bila ia mendapatkan dua kali lipat daripada bagian wanita. (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/160)
6. Suami diperintah untuk berlaku baik pada istrinya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan bergaullah kalian (para suami) dengan mereka (para istri) secara patut.” (An-Nisa`: 19)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat di atas menyatakan: “Yakni perindah ucapan kalian terhadap mereka (para istri) dan perbagus perbuatan serta penampilan kalian sesuai kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga berbuat yang sama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam hal ini:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarga (istri)nya. Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluarga (istri)ku.”2 (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/173)
7. Suami tidak boleh membenci istrinya dan tetap harus berlaku baik terhadap istrinya walaupun dalam keadaan tidak menyukainya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
“Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa`: 19)
Dalam tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an (5/65), Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ (“Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka”), dikarenakan parasnya yang buruk atau perangainya yang jelek, bukan karena si istri berbuat keji dan nusyuz, maka disenangi (dianjurkan) (bagi si suami) untuk bersabar menanggung kekurangan tersebut. Mudah-mudahan hal itu mendatangkan rizki berupa anak-anak yang shalih yang diperoleh dari istri tersebut.”
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Yakni mudah-mudahan kesabaran kalian dengan tetap menahan mereka (para istri dalam ikatan pernikahan), sementara kalian tidak menyukai mereka, akan menjadi kebaikan yang banyak bagi kalian di dunia dan di akhirat. Sebagaimana perkataan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang ayat ini: ‘Si suami mengasihani (menaruh iba) istri (yang tidak disukainya) hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan rizki kepadanya berupa anak dari istri tersebut dan pada anak itu ada kebaikan yang banyak’.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)
Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ
“Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah, jika ia tidak suka satu tabiat/perangainya maka (bisa jadi) ia ridha (senang) dengan tabiat/perangainya yang lain.” (HR. Muslim no. 1469)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Hadits ini menunjukkan larangan (untuk membenci), yakni sepantasnya seorang suami tidak membenci istrinya. Karena bila ia menemukan pada istrinya satu perangai yang tidak ia sukai, namun di sisi lain ia bisa dapatkan perangai yang disenanginya pada si istri. Misalnya istrinya tidak baik perilakunya, tetapi ia seorang yang beragama, atau berparas cantik, atau menjaga kehormatan diri, atau bersikap lemah lembut dan halus padanya, atau yang semisalnya.” (Al-Minhaj, 10/58)
8. Bila seorang suami bercerai dengan istrinya, ia tidak boleh meminta kembali mahar yang pernah diberikannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَءَاتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلاَ تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا. وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
“Dan jika kalian ingin mengganti istri kalian dengan istri yang lain sedang kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kalian mengambil kembali sedikitpun dari harta tersebut. Apakah kalian akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (An-Nisa`: 20-21)
9. Termasuk pemuliaan terhadap wanita adalah diharamkan bagi mahram si wanita karena nasab ataupun karena penyusuan untuk menikahinya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ اْلأَخِ وَبَنَاتُ اْلأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ
“Diharamkan atas kalian menikahi ibu-ibu kalian, putri-putri kalian, saudara-saudara perempuan kalian, ‘ammah kalian (bibi/ saudara perempuan ayah), khalah kalian (bibi/ saudara perempuan ibu), putri-putri dari saudara laki-laki kalian (keponakan perempuan), putri-putri dari saudara perempuan kalian, ibu-ibu susu kalian, saudara-saudara perempuan kalian sepersusuan, ibu mertua kalian, putri-putri dari istri kalian yang berada dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri. Tetapi jika kalian belum mencampuri istri tersebut (dan sudah berpisah dengan kalian) maka tidak berdosa kalian menikahi putrinya. Diharamkan pula bagi kalian menikahi istri-istri anak kandung kalian (menantu)…” (An-Nisa`: 23)
Diharamkannya wanita-wanita yang disebutkan dalam ayat di atas untuk dinikahi oleh lelaki yang merupakan mahramnya, tentu memiliki hikmah yang agung, tujuan yang tinggi yang sesuai dengan fithrah insaniah. (Takrimul Mar`ah fil Islam, Asy-Syaikh Muhammad Jamil Zainu, hal. 16)
Di akhir ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ اْلأُخْتَيْنِ إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
“(Diharamkan atas kalian) menghimpunkan dalam pernikahan dua wanita yang bersaudara, kecuali apa yang telah terjadi di masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa`: 23)
Ayat di atas menetapkan bahwa seorang lelaki tidak boleh mengumpulkan dua wanita yang bersaudara dalam ikatan pernikahan karena hal ini jelas akan mengakibatkan permusuhan dan pecahnya hubungan di antara keduanya. (Takrimul Mar`ah fil Islam, Muhammad Jamil Zainu, hal. 16)
Demikian beberapa ayat dalam surah An-Nisa` yang menyinggung tentang wanita. Apa yang kami sebutkan di atas bukanlah membatasi, namun karena tidak cukupnya ruang, sementara hanya demikian yang dapat kami persembahkan untuk pembaca yang mulia. Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah yang memberi taufik.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Footnote:
1 Karena ibu ‘Urwah, Asma` bintu Abi Bakr radhiyallahu ‘anhuma adalah saudara perempuan Aisyah radhiyallahu ‘anha.
2 HR. At-Tirmidzi, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah.
(Sumber: Majalah Asy Syari’ah, Vol. IV/No. 38/1429H/2008, Kategori: Niswah, hal. 80-85. Dicopy dari http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=617)

http://akhwat.web.id

Senin, 17 Februari 2014

Berhukum dengan Selain yang Alloh Turunkan bag. 4 : JAWABAN DALIL-DALIL TERPENTING MEREKA


BAHASAN KEEMPAT

JAWABAN DALIL-DALIL TERPENTING MEREKA

Dalil Pertama
Firman Alloh Ta’ala :

{وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ} [المائدة: 44]

Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir ( QS. Al Maidah : 44 )

Jika dikatakan : pemerintah yang memberlakukan selain yang Alloh turunkan adalah kafir dengan nash ayat ini .

Jawab : kufur dalam ayat ini adalah kufur ashghar bukan akbar , buktinya adalah tiga hal berikut :

1.       Ijma ahli sunnah bahwa ayat ini bukan dimaknai sesuai dhahirnya , telah lalu ( di halaman 24 ).

2.       Tafsir ibnu Abbas radhiyallohu anhuma, telah lalu ( halaman 42 ).

3.       Tafsir sebagian tabiien[1] ( = murid-murid ibnu Abbas radhiyallohu anhu wa rahimahum ), dan telah lalu ( halaman 41 ) , dan tidak diketahui adanya yang menyelisihi mereka di zaman itu.

Lalu jika dikatakan : hukumasal kata kufur saat dimutlakkan adalah kufur akbar .

Maka dijawab : pembawaan kaidah ini tidak ada gunanya , sebab telah datang penjelasan maksud kufur dalam ayat itu yaitu ; kufur ashghar, dan itu adalah tafsir Ibnu Abbas dan sebagian muridnya .

Lalu jika dikatakan : ibnu Taimiyah telah melakukan penelitian lafadz (  al kufr ) yang mendapat takrif dengan Alif Lam, maka beliau mendapatkan dipastikan bahwa ia kufur akbar, sehingga beliau berkata : “ kufur yang ditakrif difahami kepada kufur yang makruf yaitu yang mngeluarkan dari agama “ ( Syarh Umdah , bagian Shalat hal. 82 ).

Maka dijawab : penelitian beliau adalah lafdz ini dalam bentuk mashdar ( alkufru ) , sementara dalam ayat itu berbentuk Fa’il ( alkafir ), dan keduanya berbeda ; sebab mashdar menunjukkan perbuatan saja, adapun isim fa’il maka menunjukkan perbuatan dan yang melakukan perbuatan itu ( Fa’il = pelaku ) .

Karena itulah Ibnu Taimiyah sendiri berpendapat bahwa kufur yang dimaksud dalam ayat itu adalah kufur ashghar, dan beliau mengatakan bahwa itu adalah pendapat sebagian imam sunnah , bahkan keumuman salaf, dan telah dijelaskan ucapan beliau ( hal. 44 ).

Berkata ibnu Utsaimin rahimahulloh : “ termasuk keburukan dalam pemahaman adalah ucapan orang yang menisbatkan kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bahwa belaiu berkata ( jika dimutlakkan kufur maka yang dimaksud hanyalah kufur akbar ), dengan berdalil ucapan ini mereka mengkafirkan dengan ayat : “ maka merekalah orang-orang yang kafir “ ( QS. Al Maidah 44 ) ! padahal di ayat ini tidak ada lafadz “ alkufru “ !, adapun ucapan yang benar dari Syaikhul Islam maka adalah dalam pembedaan lafadz “ alkufru “ yang disertai alif lam dengan lafadz “ kufrun “ nakirah . Adapun Washf, maka boleh kita berkata ( هؤلاء كافرون ) atau ( هؤلاء الكافرون  ) , untuk menunjukkan sifat yang mereka miliki yaitu kufur yang tidak mengeluarkan dari agama, maka adalah berbeda antara disifati dengan perbuatan  dengan disifati dengan pelaku “ ( Fitnah Takfir hal. 25, footnote 1 ) .

Dalil kedua
Firman Alloh Ta’ala :

{فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا} [النساء: 65]

Artinya : Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.( QS. Nisa 65 ).

Jika dikatakan : sungguh Alloh menafikan iman dari orang yang tidak berhukum dengan syariah, dan ini menunjukkan kafir.

Jawab : bahwa yang dinafikan adalah kesempurnaan iman bukan pokok iman ( = bukan keseluruhan ) , maka ayat ini menghukumi kekurangan iman bukan kehilangan iman.

Penjelasannya : penafian iman terkadang disebut dalam syariah dan dimaksud dengannya adalah menafikan kesempuraan bukan menafikan ashl ( pokok ) iman.

Di antara contohnya : sabda beliau shollallohu alaihi wa sallam : “ tidak beriman salah seorang dari kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri “ ( HR. Bukhary 13, Muslim 168 ). Dan sabda beliau shollallohu alaihi wa sallam : “ Demi Alloh tidak beriman, demi Alloh tidak beriman, demi Alloh tidak beriman . Ditanyakan : siapa Ya Rasulalloh ? beliau bersabda : seorang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya “ ( HR. Bukhary 6016 ).

·         Saya berkata : jika engkau telah mengetahui bahwa menafikan iman ada dalam syariat kita dengan maksud menafikan kesempurnaannya, dan engkau mengetahui bahwa hal ini mengharuskan kita berhati-hati dalam mengkafirkan dengan ayat ini ; maka ketahuilah bahwa telah ada bukti yang menunjukkan bahwa iman yang dinafikan dalam ayat ini bukan lagi pokok iman namun telah bergeser kepada  kesempurnaannya, diantara yang menyebabkan perubahan makna ini adalah dua hal :

Penyebab pertama : bahwa penafian iman dalam ayat ini terbagi dalam tiga golongan :

1.       Yang tidak berhukum kepada Rasul shollalohu alaihi wa sallam

2.       Yang mendapi ganjalan hati atas hukum Rasul shollallohu alaihi wa sallam.

3.       Yang tidak menyerahkan diri kepada hukum Rasul shollallohu alaihi wa sallam.

·         Saya berkata : barangsiapa menjadikan yang dinafikan adalah ashlul iman ( = seluruhnya ) maka harus mengkafirkan mereka bertiga seluruhnya, padahal ada dalil yang menunjukkan tidak kafirnya golongan kedua dan ketiga, di antaranya adalah dua dalil yang jelas :

Adapun yang pertama : apa yang diceritakan Anas bin Malik radhiyallohu anhu, saat dibuka kota Makkah, dibagi ghanimah kepada Quraisy, maka kaum Anshar berkata : sungguh ini sangat aneh ! pedang kita masih mengucurkan darah mereka, namun ghanimah kita diberikan kepada mereka ! maka berita itu sampai kepada Rasululloh shollallohu alaihi wa sallam sehingga beliau mengumpulkan mereka, lalu beliau bertanya : “ berita apakah yang telah sampai padaku ? “, mereka menjawab : “ ( benar , memang ) seperti yang samapi kepada Anda” , mereka tidak berdusta. Maka beliau bersabda : “ tidakkah kalian ridha saat manusia kembali ke rumah-rumah mereka dengan harta dunia, kalian kembali ke rumah kalian dengan Rasul Alloh ? jika manusia menempuh satu lembah atau bukit dan Anshar menempuh lembah atau bukit yang lain, tentu aku akan menempuh lembah atau bukit yang dipilih Anshar “ ( HR. Bukhary 3778, Muslim 2437 ). Mereka lalu menjawab : “ Wahai Rasul Alloh, kami telah ridha “ ( HR. Bukhary 4331, Muslim 2438 ). Maka semoga Alloh meridhai Anshar dan seluruh shahabat Naby shollallohu alaihi wa sallam, betapa baik dan benarnya iman dan kecintaan mereka kepada Rasululloh shollallohu alihi wa sallam.

Adapun yang kedua : adalah hadits Aisyah radhiyallohu anha bahwa istri – istri Naby shollallohu aliahi wa sallam mendatangi beliau dan membujuk agar beliau adil pada Binti Abi Quhafah ( = Aisyah radhiyallohu anha ) ( HR. Bukhary 2581, Muslim 6240 ) ... semoga Alloh meridhai para istri Naby shollallohu alaihi wa sallam .

·         Saya berkata : jika yang dinafikan pada golongan kedua dan ketiga adalah kamal ( kesempurnaan ) iman, maka demikianlah pula seharusnya pada golongan pertama, jika golongan kedua dan ketiga tidak kafir maka golongan pertama pun demikian, sama saja, karena ancaman yang ada pada mereka sama .

Apalagi jika engkau bandingkan hal ini dengan ucapan Ibnu Taimiyah rahimahulloh : “ ayat ini termasuk dalil yang digunakan Khawarij untuk mengkafirkan pemerintah yang tidak berhukum dengan apa yang Alloh turunkan “ ( Minhajus Sunnah 5/131 ), maka akan bertambah jelas.

Penyebab kedua : dan ini agak rumit, bahwa ayat ini turun pada seorang Anshary Badry, sedangkan ahli badr adalah orang-orang yang terjaga dari kufur akbar, yaitu saat terjadi pertikaian antara Zubair dengan orang tersebut, maka Naby shollallohu alaihi wa sallam menetapkan keputusan yang membuat marah orang Anshar itu, lalu dia berkata : apakah karena ia anak bibimu ?! ( HR. Bukhary 2362, 2708, 4585, Muslim 6065, Abu Dawud 3637, Tirmidzy 1363, Nasa’iy 5431 ) .

Maka lihatlah, bagaimana seorang badry ( ahli badr ) itu marah, radhiyallohu anhu dan tidak menerima dengan penuh dengan keputusan naby shollallohu alaihi wa sallam dalam perkara itu ?!

Berkata Ibnu Baz rahimahulloh menjelaskan firman Alloh ini ( QS. Annisa 65 ) : “ barangsiapa mengira bahwa boleh berhukum dengan selainnya ( yakni syariat ) atau berkata : “ manusia boleh berhukum kepada nenek moyang “ atau “ kepada leluhur “ atau “ kepada undang-undang yang dibuat manusia “, dari barat atau pun timur, barangsiapa mengira hal ini boleh maka dinafikan iman darinya dan ia menjadi kafir dengan kufur akbar...adapun yang berpandangan bahwa yang wajib adalah berhukum kepada syariat Alloh, dan bahwa tidak boleh berhukum kepada undang-undang atau selainnya yang menyelisihi syariat Alloh, namun ia terkadang memutuskan dengan selain yang Alloh turunkan karena hawa nafsu berkaitan pihak terdakwa, atau sogokan atau karena urusan politik atau yang semisalnya, dan ia mengetahui bahwa dirinya dzalim dan salah dan menyelisihi syariat ; maka orang ini kurang iman dan telah dinafikan darinya kesempurnaan iman dan ia menjadi kafir dengan kufur ashghar, dzalim dengan dzalim ashghar, fasiq dengan fasiq ashghar “ ( Al Fatawa 6/249 ) .

Bahkan berkata ibnu Taimiyah rahimahulloh : “ setiap yang dinafikan Alloh dan Rasul-Nya dari nama-nama perkara yang wajib seperti nama iman dan islam dan dien dan shalat dan shiyam dan thaharah dan haji dan selainnya, maka sesungguhnya karena meninggalkan suatu kewajiban dari nama itu , di antaranya firman Alloh ta’ala :

{فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا} [النساء: 65]

Artinya : Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.( QS. Nisa 65 ).

Maka ketika iman dinafikan samapi didapatkan tujuan, ini menunjukkan bahwa tujuan ini adalah fadhu atas manusia, barangsiapa meninggalkannya maka ia termasuk yang diancam yang belum memiliki iman yang wajib yang dijanjikan akan masuk surga tanpa adzab “ ( Al Fatawa 7/37 ) .

Beliau juga berkata : “maka kapan saja ada penafian amal dalam kitab dan sunnah adalah karena hilangnya sebagian kewajibannya, seperti firman Alloh Ta’ala : ( Artinya ) : Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.( QS. Nisa 65 ).

Jika dikatakan ; apakah dalil bahwa Alloh menjaga keimanan ahli badar dari terjatuh dalam kekafiran ?

Maka jawabnya : Alloh telah wajibkan bagi mereka surga, sebagaimana dalam kisah Hatib radhiyallohu anhu saat Naby shollalohu alaihi wa sallam bersabda : “ Alloh telah melihat mereka dan berfirman : berbuatlah sekehendak kalian karena Aku telah wajibkan bagi kalian surga ‘ ( HR.AlBukhary 6939 ) .

·         Saya berkata : maka barangsiapa tidak berpendapat dengan kekhususan mereka serta penjagaan Alloh terhadap mereka dari terjatuh pada perkara yang mengeluarkan dari Islam, maka telah menentangkan hadits itu dengan firman Alloh Ta’ala :

{إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ } [النساء: 48]

Artinya : Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya ( Qs Annisa 48 & 116 )

Sebab kufur dan syirik akbar itu tidak diampuni, padahal Alloh telah wajibkan surga bagi ahli badar.

Jika dikatakan : bukankah bisa jadi seorang dari ahli badar terjatuh dalam kekufuran namun kemudian mendapat taufik untuk bertaubat dari kekufuran itu, sehingga lalu meninggal di atas tauhid, maka tidak ada pertentangan antar dalil ?

Dijawab dari dua sisi :

1.       Alloh telah ampuni ahli badar, dan ampunan itu tidak dikaitkan dengan taubat, dan wajib bagi kita memahami keutamaan ini sesuai kemutlakannya dan tidak mengkaitkan dengan sesuatu  dalam hal yang Alloh mutlakkan .

2.       Jika boleh dikatakan dengan kemungkinan itu tentu keutamaan akan hilang ! dan keistimewaan mereka menyaksikan perang badar menjadi tiada arti ! sebab para ulama telah bersepakat bahwa semua dosa – sampai kekufuran – diampuni dengan taubat. Apabila dosa ahli badar diampuni jika bertaubat, maka tidak ada keutamaan yang mengistimewakan mereka dari selainnya .

Saya akan tutup bahasan ini dengan ucapan ibnu taimiyah rahimahulloh : ‘ ucapan-Nya kepada ahli badar dan semisalnya : “ berbuatlah sekehendak kalian karena Aku telah ampuni kalian “ : jika dibawa kepada dosa-dosa kecil, atau ampunan dengan taubat, maka tidak beda mereka dengan selainnya. Maka sebagaimana hadits qudsi ini tidak bisa dibawa dalam masalah kufur yang diketahui bahwa kufur tidak diampuni kecuali dengan taubat, demikian juga tidak bisa dibawa kepada dosa-dosa kecil yang dihapus dengan menjauhi dosa - dosa besar ( Al Fatawa 7/490 ) .

Jika dikatakan : ayat ini menafikan iman dari orang yang tidak berhukum kepada syariat dan tidak mesti hukum ini dapat diterapkan langsung kepada shahabat itu karena memvonis seseorang memiliki kriteria berupa syarat dan penghalang .

Jawab : shahabat ini memiliki keistimewaan atas selainnya sebab nash ( hadits – pent ) datang kepadanya, dan tidak bisa menafsirkan ayat tanpa melibatkannya. Walaupun al ibrah bi umumi lafdzi la bi khususi sabab ( hukum berlaku secara umum tidak khusus pada sebabnya saja ) , namun tidak ada ikhtilaf bahwa orang yang dalil turun padanya pasti termasuk dalam hukum itu, bahkan lebih berhak.

Berkata Ibnu Taimiyah rahimahulloh : ayat yang memiliki sebab tertentu, jika berupa perintah atau larangan, maka mencakup orang tersebut dan selainnya yang sesuai dengannya, jika berupa khabar pujian atau celaan, maka mencakup orang itu dan selainnya yang seperti dia “ ( Al Fatawa 13/339 ) .

Berkata Ibnul Qayyim rahimahulloh : “ maka tempat sebab tidak dapat keluar dari hukum, dan berkaitan dengan selainnya “ ( Zaadul Ma’ad 5/317 ) .

Bahkan Az Zarkasy rahimahulloh menukilkan bahwa sebagian ulama menghikayatkan ijma atas perkara itu : “ maka tempat sebab tidak bisa dikeluarkan dengan ijtihad secara ijma sebagaimana diceritaklan Al Qadhy Abu Bakar dalam Mukhtashar At Taqrib ; sebab masuknya sebab adalah qath’iy “ ( Al Burhan 1/117 ) .

Dalil ketiga
Firman Alloh Ta’ala :

{أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا} [النساء: 60]

Artinya : Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? mereka hendak berhakim kepada thaghut[312], Padahal mereka telah diperintah mengingkari Thaghut itu. dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. ( QS . An Nisa 60 ) .

Jika dikatakan ; sungguh orang yang berhukum kepada selain syariat telah kafir karena alloh telah menghukuminya dengan kemunafikan .

Jawab : ada dua hal :

Pertama : benar, bahwa ayat ini datang tentang munafikin, tetapi maknanya dapat difahami kepada dua sisi :

1.       Bahwa iman mereka menjadi anggapan ( = yaitu menjadi munafikin ), karena mereka menginginkan berhukum kepada thaghut, ini j=menjadi pegangan mereka yang menyelisihi.

2.       Bahwa termasuk sifat ahli iman yang dusta ( munafikin ) adalah mereka ingin berhukum kepada thaghut, dan persamaan mukmin dengan munafik dalam satu sifat dari sifat mereka – seperti dusta -  tidak menyebabkan kafir, maka atas dasar ini ; maka siapa yang berhukum kepada selain yang Alloh turunkan berarti telah menyerupai kaum munafikin dalam satu sifat dari sifat mereka, dan ini tidak menunjukkan kafir kecuali ada dalil yang lain.

·         Saya berkata : dan jika ada kemungkinan kafir dan tidak kafir dalam satu perkara ; maka tidak dikafirkan, sebab pengkafiran tidak bisa didirikan dia atas dasar kemungkinan, namun harus dibangun di atas keyakinan, sehingga harus berhati-hati padanya, terlebih lagi, tidak ada dalil bahwa mereka dihukumi nifaq hanya karena mereka berhukum kepada selain Alloh.

Kedua : bahwa keinginan mereka bukan keinginan yang mutlak, tetapi keinginan khusus yang mengandung hal yang menafikan kufur kepada thaghut. Dan barangsiapa yang tidak meyakini wajibnya kafir kepada thaghut maka tidak ragu lagi bahwa ia kafir dengan kufur akbar.

Berkata Thabary rahimahulloh : ( يريدون أن يتحاكموا ) dalam perselisihan mereka, ( إلى الطاغوت ) , yakni : kepada siapa yang mereka agungkan dan keluar dari ucapannya hukum dan mereka ridhai hukumnya dari selain hukum Alloh. ( وقد أمروا أن يكفروا به ), beliau berkata : padahal Alloh telah memerintahkan mereka agar mendustakan apa yang didatangkan oleh thaghut yang mereka berhukum kepadanya lalu mereka meninggalkan perintah Alloh dan mengikuti perintah syaithan “ ( Tafsir 5/96 ) .

Dalil keempat
Firman Alloh ta’ala :

{وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ} [الأنعام: 121]

Artinya : dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik ( QS. An’am : 121 )

Jika dikatakan : sungguh orang yang mentaati selain Alloh pada apa yang menyelisihi perintah Alloh maka telah berbuat syirik .

Jawab ; ada dua sisi :

1.       Dzahir ayat seakan menunjukkan bahwa setiap taat adalah syirik, ini bukan yang dimaksud, bahkan tidak ada seorang pun berpendapat demikian, maka :

2.       Taat yang dimaksud – di sini – adalah taat dalam penghalalan dan pengharaman ; yaknijika mengikuti mereka dengan meyakini kehalalan yang haram dan keharaman yang halal, berkata Abdul Lathif bin Abdurrahman bin Hasan rahimahumulloh : “ dan perhatikan firman Alloh :

)وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ} [الأنعام: 121]

 Artinya : Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik ( QS. An’am : 121 ) ; bagaimana Alloh hukumi atas orang yang mentaati wali-wali syaithan dalam penghalalan apa yang Alloh haramkan maka ia musyrik “ ( Uyun Rasa’il 1/251 ).

Dalil kelima
Firman Alloh Ta’ala :

{أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ } [الشورى: 21]

Artinya : Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah ( Qs. Syura 21 ).

Maka jika dikatakan : pemerintah yang berhukum dengan selain yang Alloh turunkan adalang sekutu Alloh dalam hukum-Nya maka dia kafir .

Jawab : ayat ini tidak menunjukkan kafir kecuali pelaku tabdiel, sebab ayat ini mengkafirkan orang yang mengumpulkan dua sifat :

1.       Tasyrie’ ( pensyariatan )(  شَرَعُوا لَهُمْ )

2.       Menisbatkan kepada agama ( مِنَ الدِّينِ )

·         Saya katakan : inilah tabdiel yang telah dijelaskan bahwa ia kekafiran dengan ijma ( halaman 20 ).

Dalil Keenam
Firman Alloh Ta’ala :

﴿ ولا يشرك في حكمه أحدا ﴾ [ الكهف ٢٦ ]

Artinya : dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan ( QS. Al Kahfi : 26 )

Maka jika dikatakan : pemerintah yang berhukumdengan selain hukum Alloh telah menjadikan dirinya sebagai sekutu bagi Alloh dalam hukumnya maka ia kafir .

Maka jawabannya adalah dari dua sisi :

1.       Tidak dapat diterima jika dikatakan bahwa pemerintah yang berhukum dengan selain hukum Alloh adalah sekutu bagi Alloh dalam setiap keadaan ; sebab jika ia menisbatkan hukum yang ia buat kepada agama ( Tabdiel ), atau meyakini bahwa boleh hukumnya memutuskan dengan selain hukum Alloh ( istihlal ) : maka ia adalah sekutu dalam hukum-Nya,  adapun jika tidak demikian maka tidak masuk dalam ayat ini .

2.       Bahwa siapa yang menyelisihi kebenaran dalam hal ini dan mengambil ayat ini hanya dari keumumannya harus mengkafirkan setiap bentuk berhukum dengan selain hukum Alloh dengan alasan persekutuan dalam hukum-Nya, padahal ahlu sunnah telah berijma atas ketidak kafiran ja’ir ( yang dzalim )  ( lihat hal. 21 ), dan ijma ini cukup untuk membantah faham ini .

Dalil Ketujuh
Firman Alloh :

﴿ إن الحكم إلا لله ﴾ [ الأنعام ٥٧ ، يوسف ٤۰ ، ٦٧ ]

Artinya : keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah ( QS. An’am 57, Yusuf 40 , 67 ) .

Jika dikatakan : barangsiapa yang membuat hukum sendiri berarti telah menyaingi Alloh dalam satu perkara khusus bagi-Nya, maka dia kafir .

Jawaban hal ini dari tiga sisi :

1.       Tidak dapat diterima pernyataan bahwa pemerintah yang berhukum dengan selain yang Alloh turunkan berarti menyaingi Alloh dalam hukum dengan sekedar perbuatannya tanpa ia mengklaim bahwa dirinya berhak akan hal itu.

2.       Yang menyelisihi kebenaran dalam hal ini seharusnya juga mengkafirkan pemimpin dzalim yang ahli sunnah telah berijma akan ketidakkafirannya ( hal 21 ).

3.       Yang menyelisihi dalam hal ini seharusnya – juga – mengkafirkan tukang gambar yang ahli sunnah telah berijma akan ketidakkafirannya ( hal 29 ) .

Dalil kedelapan
Firman Alloh :

﴿ اتخذوا أحبارهم ورهبانهم أرباباً من دون الله ﴾ [ التوبة ۳١ ]

Artinya : mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah ( QS. Taubah 31 ).

Jika dikatakan : sesungguhnya ahli kitab ketika mentaati ulama mereka dan rahib mereka dalam hukum mereka yang bukan apa yang Alloh turunkan maka Alloh sifati mereka bahwa mereka menjadikan tokoh itu sebagai tuhan-tuhan selain Alloh : maka perbuatan ini adalah syirik .

Jawab : taat kepada ulama dan rahib tidak keluar dari dua keadaan :

1.ketaatan mereka dalam meyakini kehalalan apa yang Alloh haramkan dan keharaman apa yang Alloh halalkan , dan ini adalah kekufuran yang mengeluarkan dari agama tanpa khilaf .

2. ketaatan mereka dalam bermaksiat kepada Alloh tanpa meyakini kehalalan apa yang Alloh haramkan atau keharaman apa yang Alloh halalkan ; maka ini tentu bukanlah kekufuran ; sebab tidak ada dalil mengkafirkan dengan sebab ini, juga hal ini berkonsekuensi harus mengkafirkan pelaku dosa yang mentaati hawa nafsu mereka atau siapa yang mengajak mereka dalam maksiat, dan berimplikasi harus mengkafirkan seorang yang Ahli Sunnah telah bersepakat akan ketidakkafirannya ; seperti orang yang mentaati istri atau anak dalam maksiat .

Berkata Ibnu Taimiyah rahimahulloh : “  dan mereka yang menjadikan rahib dan ulama mereka sebagi tuhan-tuhan yang mereka taati dalam menghalalkan apa yang Alloh haramkan dan mengharamkan apa yang Alloh halalkan dapat dibagi kepada dua sisi :

Yang pertama : mengetahui bahwa mereka melakukan tabdiel terhadap agama Alloh lalu mereka mengikuti atas dasar tabdiel ; sehingga mereka meyakini kehalalan apa yang Alloh haramkan dan keharaman apa yang Alloh halalkan karena mengikuti pemimpin mereka padahal mereka mengetahui bahwa hal itu menyelisihi agama para Rasul ; maka ini kekufuran.....

Yang kedua : keyakinan dan iman mereka tentang keharaman yang halal dan kehalalan yang haram[2] tetap / tidak berubah, namun mereka mentaatinya dalam maksiat sebagaimana dilakukan oleh pelaku maksiat yang masih meyakini itu sebagi maksiat ; maka mereka mendapat hukum yang semisal dengan pelaku dosa lainnya “ ( Al fatawa 7/70 ).

Dalil kesembilan
Firman Alloh Ta’ala :

﴿ وما اختلفتم فيه من شيء فحكمه إلى الله ﴾ [ الشورى ١۰ ]

Artinya : tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah ( QS. Asyuraa 10 )

Jika dikatakan : sesungguhnya seorang yang merujuk hukum kepada selain Alloh maka telah meyelisihi apa yang Alloh Azza Wa Jalla perintahkan .

Maka dijawab : ayat ini menunjukkan wajibnya berhukum kepada Syariah ; ini tidak diperselisihkan, sebagimana tidak ada ikhtilaf bahwa mereka yang memutuskan dengan selainyang Alloh turunkan adalah para pendosa yang terjatuh dalam dosa besar ; namun dalam ayat ini tidak ada dalil tentang pengkafiran .

Dalil kesepuluh

Firman Alloh Ta’ala :

﴿  أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ  ﴾ [ المائدة ٥۰ ]

Artinya : Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ? ( QS. Al Maidah 50 )

Jika dikatakan : sesungguhnya Alloh mensifati hukum dengan selain syariah sebagai hukum jahiliyah ; ini berarti kufur .

Maka dijawab : penisbatan sesuatu kepada jahiliyah atau pensifatannya sebagai bagian dari perbuatan jahiliyah ; tidak otomatis berarti kufur .

Dalilnya adalah Rasul shollallohu alaihi wa sallam pernah berkata kepada Abu Dzar radhiyallohu anhu saat ia mencela seseorang : “ sungguh engkau seorang yang padamu ada jahiliyah “ ( HR. Bukhary 30, Muslim 4289 ) , sebagaimana beliau juga mensifati banyak perkara – yang disepakati Ahli sunnah akan ketidakkafirannya – sebagi perbuatan jahiliyah, di antaranya : mencela nasab , niyahah ( meratapi ) mayat... ( HR.Muslim 2157 ).

·         Saya berkata : barangsiapa mengatakan adanya talaazum ( keterkaitan pasti ) antara nisbat kepada jahiliyah dengan kekufuran maka seharusnya mengkafirkan golongan yang Ahlu Sunnah bersepakat ketidakkafirannya ; mencerca muslim, mencela nasab dan meratapi mayat .

Berkata Abu Ubauid Al Qasim bin Sallam rahimahulloh : “ tidakkah kau dengan firman Alloh : ( أفحكم الجاهلية يبغون ) , tafsirnya menurut ahli tafsir : bahwa siapa yang memutuskan dengan selain yang Alloh turunkan dalam keadaan beragama islam, maka ia dengan hukum tersebut seperti ahli jahiliyah, sebab dahulu demukianlah ahli jahiliyah menghukumi, demikian juga sabda beliau : “ tiga hal dari perkara jahiliyah : mencela nasab, niyahah, dan mempercayai pengaruh bintang “ , tidak ada sisi atsar ini – termasuk dosa – bahwa pelakunya jahil ! atau kafir ! atau munafiq ! ...tetapi maknanya : bahwa perbuatan ini jelas perbuatan orang kafir, diharamkan dan dilarang dalam Al Kitab dan As Sunnah “ ( Al Iman hal 90 ) .

Berkata Imam Bukhary rahimahulloh : Bab : Maksiat termasuk perkara jahiliyah, dan pelakunya tidak kafir dengan melakukannya , kecuali syirik, karena sabda Naby shollallohu alaihi wa sallam : “ sungguh engkau seorang yang padamu ada jahiliyah “ dan firman Alloh Ta’ala : ﴿ إن الله لا يغفر أن يشرك به ويغفر ما دون ذلك لمن يشاء ﴾  : Sesungguhnya Alloh tidak mengampuni dosa syirik dan mengampuni dosa di bawahnya bagi siapa yang Ia kehendaki ( QS.  An Nisa 48, 116 ) .. “ ( Shahih Bukhary sebelum hadits 30 ) .

Dalil kesebelas
Sebab turun firman Alloh :
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا

Artinya : Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari Thaghut itu. dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.( QS. An Nisa : 60 )

Berkata As Sya’by rahimaulloh : dahulu terjadi perselisihan antara seorang dari munafikin dengan seorang dari Yahudi. Maka berkata Yahudi itu ; mari kita berhukum kepada Muhammad shollalohu alaihi wa sallam, karena ia tahu bahwa beliau tidak mau menerima sogokan. Munafik itu berkata : kita berhukum kepada Yahudi. Karena ia mengetahui bahwa mereka menerima risywah, lalu mereka sepakat mendatangi seorang dukun di Juhainah lalu berhukum padanya , maka turunlah ayat ini ( Al Wahidy dalam Asbab Nuzul hal 119 ) .

Maka jika dikatakan : sesungguhnya Alloh menghukumi orang tersebut sebagai munafiq karena berhukum kepada dukun .

Maka dijawab dari dua hal :

1.       Hadits ini dho’if, karena As Sya;by rahimahulloh termasuk tabi’ien maka ini mursal .

2.       Jika dianggap ini hadits shahih, maka ayat tersebut turun  turun pada seorang munafik . Sedang adanya sifat munafik pada seorang muslim belum tentu  dapat dihukumi dengan nifaq akbar, kecuali jika ada dalil lain yang menunjukkan bahwa pensifatan nifaq ini adalah karena sifat ini ( berhukum kepada selain Alloh ) .

Dalil keduabelas
Sebab nuzul yang lain, yaitu ada dua orang yang bersengketa , maka seorang dari mereka beerkata : mari kita angkat perkara ini kepada Rasululloh shollallohu alaihi wa sallam, sedang yang lain berkata : kepada Ka’ab bin Asyraf, lalu keduanya datang kepada Umar, setelah salah seorang dari mereka menceritakan kisah tersebut maka Umar berkata kepada yang tidak ridha dengan hukum Rasululloh shollalohu alaihi wa sallam : apakah benar begitu ? ia menjawab : ya , maka Umar menebasnya dengan pedang dan membunuhnya .... ( Al Wahidy dalam Asbab Nuzul hal 119 ) .

Jawab : bahwa riwayat ini adalah dari jalan Al Kalby dari Abu Shalih Badzaam dari Ibnu Abbas , terdapat empat illat :

1.       Muhammad bin Saib Al Kalby : matruk , riwayatnya ditinggalkan oleh Yahya bin Said dan Ibnu Mahdy rahimahumalloh , bbahkan Abu Hatim rahimahulloh  berkata : “ manusia telah bersepakat untuk meninggalkan haditsnya “ ( lihat tahdzibul Kamal 6/318 – 319 / 5825 ) .

2.       Baadzaam adalah dho’if , didhaifkan oleh Al Bukhary dan Ibnu Hajar rahimahumalloh . Bahkan berkata ibnu Ady rahimahulloh : “ saya tidak mengetahui seorang pun dari  mutaqaddimien yang meridhainya “ ( lihat Mizaanul I’tidal 2/3/1123, taqrib tahdzib hal 163, Al Kamil 2/258/300 ).

3.       Inqitha ( terputus sanad ) antara Badzaam dengan Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma ; berkata Ibnu Hibban rahimahulloh : “ ia membawakan riwayat dari ibnu abbas namun tidak didengar riwayat darinya “ ..( lihat tahdzibut Tahdzib 1/211 ).

4.       Riwayat Al kalby dari Baadzaam tidak ada nilainya ; berkata Yahya Ibnu main rahimahulloh tentang Badzaam : “  jika meriwayatkan dari Al Kalby maka tidak ada nilainya “.. ( lihat tahdzibul Kamal 1/326/625 ).

Dalil ketiga belas
Sabab nuzul yang lain, yaitu ucapan Ibnu Abbas radhiyallohu anhu ; Dahulu Abu barzah Al Aslamy adalah seorang dukun yang menghakimi antar yahudi jika mereka berselisih, maka lalu datanglah sekelompok muslimin kepadanya ( untuk berhukum –pent ), maka alloh turunkan : ﴿ ألم تر إلى الذين يزعمون ﴾ ... ( Al Wahidy dalam Asbabun Nuzul hal 118, Thabrany dalam Al Kabiir 12045 ).

Berkata Al Haitsamy rahimahulloh : “ rijalnya adalah rijal shahih “ .. ( Majma’ zawaid 7/6/10934 ).

Berkata Ibnu Hajar rahimahulloh : “ dengan sanad jayyid “ .. ( Al Ishabah 7/32, dalam biografi Abu Burdah Al Aslamy rodhiyallohu anhu ) .

Jika dikatakan : Alloh nisbatkan mereka kepada nifaq karena mereka berhukum kepada dukun.

Jawab : dari dua sisi :

1.       Konteks ayat menunjukkan mereka memang munafikun, sedang ayat ibi menyebutkan salah satu sifat mereka, dan tidak ada dalil dalam ayat maupun sabab nuzul yang menunjukkan bahwa berhukumnya mereka itulah sebab mereka dihukumi nifaq. Maka barangsiapa yang melakukan perbuatan seperti itu maka dia menyerupai mereka, dan barangsiapa menyerupai munafikin dalam satu sifat maka tidak otomatis menjadi munafik nifaq akbar yang keluar dari agama.

2.       Bahwa keinginan sekelompok orang ini adalah keinginan yang kufur, yaitu keinginan ( iradah 0 yang menafikan kufur kepada Thaghut, dan telah lalu hal ini ( hal 61 ).
 
Dalil keempatbelas
Berkata Ibnu Katsier ketika mengomentari atas sebagian hukum perkara yang ada dalam kitab Tatar ( = Ilyasa = Ilyasiq ) : “ dan ini semua menyelisihi syariat Alloh yang diturunkan kepada hambanya dari para nabi alaihumus sholatu wa salaam, maka barangsiapa meninggalkan syariat muhkam yang diturunkan atas muhammad bin Abdillah penutup para nabi dan berhukum kepada selainnya dari syariat yang telah dimansukh maka ia kafir. Maka bagaimana lagi seorang yang berhukum kepada Ilyasa dan mendahulukannya ? maka barangsiapa melakukan itu ia kafir dengan ijma kaum muslimin “ ( Al Bidayah Wan Nihayah 13/128, hawadits sanah 624 H ) .

Maka jika dikatakan : maka ini adalah ijma atas kekafiran orang yang meninggalkan syariat dan berhukum kepada selainnya.

Maka dijawab : bahwa ijma ini hanyalah pada seorang dari dua jenis :

1.       Orang yang menghalalkan ( istihlal ) berhukum dengan selain apa yang Alloh turunkan

2.       Orang yang mengutamakan hukum selain Alloh di atas hukum Alloh.

·         Saya berkata : tidak ada perselisihan dalam kekafiran orang yang melakukan hal ini dengan istihlal ( hal 11 ) dan tafdhiel ( hal 18 ) .

Buktinya adalah : bahwa Ibnu Katsier rahimahulloh hanyalah menceritakan kekafiran Tatar dan yang melakukan seperti perbuatan mereka, dan keadaan yang ada pada mereka adalah mengkafirkan tanpa khilaf, ini dapat dijelaskan dari dua sisi :

Sisi pertama : mereka menghalalkan ( istihlal )  hukum selain yang Alloh turunkan.

Berkata Ibnu Taimiyah rahimahulloh : mereka menjadikan agama islam seperti agama yahudi dan nashrani, dan bahwa ini semua adalah jalan menuju Alloh seperti madzhab yang empat di kalangan muslimin, lalu di antara mereka ada yang merajihkan agama yahudi atau agama nasrani, dan di antara mereka ada yang merajihkan agama muslimin “ ...( Al Fatawa 28/523 ).

Sisi kedua : mereka mengutamakan hukum selain Alloh di atas hukum Alloh .

Berkata Ibnu katsier rahimahulloh tentang kitab mereka - yang mengandung hukum-hukum yang ditetapkan Jenghis Khan - : “ ia adalah sebuah kitab yang mengumpulkan hukum-hukum yang dinukil dari berbagai syariat, antara lain : yahudi, nasrani dan islam. Dan di dalamnya  banyak juga hukum yang diambil dengan sekedar pertimbangan dan keinginannya, sehingga menjadi syariat yang diikuti, mereka mendahulukannnya dari berhukum dengan Kitabulloh dan Sunnah Rasul-Nya shollallohu alaihi wa sallam, barangsiapa dari mereka melakukan itu maka ia kafir lagi wajib diperangi hingga kembali kepada hukum Alloh dan Rasul-Nya sampai tidak berhukum kepada selainnya baik sedikit atau banyak “ .. ( Tafsir 2/88, Al Maidah 50 ) .

·         Saya berkata : barangsiapa memperhatikan ini dan berpendapat dengannya, maka akan berkesesuaian padanya antara ucapan Ibnu Katsier rahimahulloh dengan ucapan para imam Sunnah dalam menukilkan Ijma yang ditetapkan untuk pelaku istihlal dan tafdhiel.

Kemudian, jika meninggalkan syariat dan berhukum padanya tanpa istihlal dan tafdhiel ada ijma – seperti yang dikatakan sebagian orang - , tentu engkau akan melihat para ulama saling menukilkannya dan menetapkannya baik ulama yang sezaman Ibnu Katsier atau sebelumnya, atau bahkan yang datang setelahnya. Bagaimana bisa demikian, bukankah justru mereka menukilkan ijma pada yang berkebalikan ? yaitu : ijma atas ketidakkafiran Ja’ir ( pemimpin dzalim ), dan telah lalu bahasan ini ( hal. 21 ) .


Fatwa terakhir Ibnu Utsaimin rahimahulloh dalam masalah berhukum dengan selain hukum yang Alloh turunkan

Yang disebut : “ At Tahrir Fy Mas’alatit Takfier “

Soal[3] : Segala puji bagi Alloh dan shalawat serta salam bagi Rasululloh , saya bersaksi tiada tuhan yang benar selain Alloh Yang Esa dan tiada sekutu baginya , dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya, adapun setelah itu : maka pertanyaan ini saya sampaikan via telepon, dan direkam pula jawaban Fadhilatul Walid Syaikh Al Allamah Muhammad bin Shalih Al Utsaimin hafizhohulloh , semoga beliau dan semisalnya menjadi pengganti Samahatil Walid ( Ibnu Baz ) rahimahulloh .

Dan pertanyaan ini berkaitan seputar masalah yang banyak diperselisihkan di antara tholabatul Ilmy, dan banyak -pula - pendalilan dengan ucapan Fadhilatul Walid Al Allamah Muhammad bin Shalih Al Utsaimin hafizhahulloh Ta’ala, pertama saya sampaikan kepada Syaikh : Assalam alaikum warahmatullohi wa barokatuh, semoga Alloh menambah kepada Anda keilmuan dan mengangkat derajat Anda di dunia dan akhirat.

Fadhilatus Syaikh sallamakumulloh : di sini banyak pelajar selalu mendengungkan masalah pemerintah yang menerapkan syariat yang menyelisihi syariat Alloh Azza Wa Jalla, dan tentu tak diragukan,. Tentunya juga ia memerintah dan mewajibkannya atas rakyat, dan dijatuhkan sanksi atas orang yang melanggar, diberikan insentif bagi yang mentaati, dan syariat / aturan ini jika dilihat dalam Kitabulloh dan Sunnah Rasululloh Shollallohu alaihi Wa sallam adalah menyelisihi dan bertabrakan terhadap nash kitab dan sunnah. Syariat / aturan ini jika diwajibkan oleh pemerintah atas rakyat namun ia masih mengakui bahwa hukum Alloh itulah yang benar sedang yang lainnya adalah bathil dan bahwa yang benar adalah yang datang dalam Kitab dan Sunnah, tetapi karena syubhat atau syahwat maka terjadilah penerapan aturan ini, seperti telah banyak terjadi hali ini pada Bani Umayyah dan Bani Abbas dan pada pemerintah dzalim yang mewajibkan manusia dengan perkara yang tentunya tidak tersembunyi atas seorang semisal Anda, bahkan banyak manusia telah mengetahui bagaimana merekka mewajibkan manusia dengan perkara yang tidak diridhai Alloh Azza Wa Jalla seperti dalam perkara waris dan mereka menjadikan pemimpin otoriter sebagaimana dikhabarkan Naby shollallohu alaihi wa sallam dan mereka mendekati orang-orang jahat, menjauhkan orang-orang baik, siapa saja yang mencocoki kebatilan mereka maka mereka dekatkan sedang yang beramar ma’ruf dan anhi munkar maka bisa jadi merka perangi....dst.

Apabila pemerintah di zaman ini menerapkan syariat / aturan seperti ini ; apakah ia menjadi kafir dengan sebab syariat ini apabila diwajibkan kepada seluruh rakyat ? dalam keadaan ia masih mengakui bahwa hal itu menyelisihi Kitab dan Sunnah, dan bahwa yang benar adalah apa yang ada dalam Kitab dan Sunnah, apakah dengan sekedar perbuatannya saja orang ini menjadi kafir ? ataukah harus melihat kepada akidah / keyakinan ( yang diucapkan-pent ) nya dalam masalah ini ? seperti – misalnya – orang yang mewajibkan riba, membuka bank-banj riba di negaranya, mengambil pinjaman dari bank dunia , dan berusaha menata ekonomi negaranya seperti itu, jika Anda tanya, ia akan berkata : “ riba haram, tidak boleh “, tetapi karena krisis ekonomi, atau selainnya, ia membuat alasan –alasan semisal ini, terkadang alasan yang bisa diterima terkadang tidak. Apakah ia menjadi kafir dengan perbuatan itu ? atau tidak ?

Dengan mengaitkan bahwa banyak para pemuda menukilkan dari Anda bahwa Anda mengatakan bahwa yang ,melakukan itu maka ia kafir, sedang kami melihat di negara seluruh dunia bahwa perkara ini ada, banyak maupun sedikit, terang-terangan maupun tidak, nas’alullohal afwa wal aafiyah. Kami harap Anda Fadhilatikum menjawab pertanyaan ini, semoga Alloh Subhanahu Wa Ta’ala memberi manfaat bagi para pelajar, dan bermanfaat pula bagi para da’i di jalan Alloh Azza Wa Jalla ; karena tentunya Anda mengetahui bahwa perselisihan masalah ini telah banyak berpengaruh pada barisan dakwah ilalloh.

Demikian, dan saya ingin pula menyampaikan kepada Anda tentang kecintaan para anak murid Anda para pelajar syar’iy di negeri ini, dan bahwa mereka sangat menyukai mendengar suara Anda serta pelajaran dan nasihat dari Anda, melalui telpon atau selainnya. Semoga Alloh Ta’ala menerima kebaikan amal kita semua.

Pertanyaan ini disampaikan oleh murid Anda Abul Hasan Musthofa bin Ismail As Sulaimany dari Ma’rib Yaman pada tanggal 22 Rabiul Awal 1420 H, Wassalam alaikum wa rahmatullohi wa barokatuh.

Al jawab :
[ Mukaddimah ]
Segala puji bagi Alloh Rabbul alamin, semoga salam dan shalawat terlimpah atas nabi kita Muhammad dan atas keluarga serta shahabat dan seluruh yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat. Adapun setelah itu :
[ tanggal fatwa ]
Maka pada hari ini , hari selasa bulan Rabie’ Al Awwal tahun 1420, saya telah menyimak kaset yang tertulis dari Saudara kami Abul Hasan di Ma;rib, ia memulai dengan salam , maka saya jawab : wa alaikum salam wa rahmatullohi wa barokatuh.
[ bahaya takfir ]
Adapun yang disebut tentang takfir, maka ini adalah masalah yang besar , agung, tidak boleh menetapkan dalam masalah ini  kecuali thalibul ilmi yang memahami dan mengetahui kalimat dan maknanya, mengerti akibat yang berkaitan dengan vonis kafir atau tidak. Adapun keumuman manusia, maka menetapkan takfir atau tidak dalam perkara seperti ini akan menimbulkan banyak mafsadah.
[ nasihat berharga ]
Dan yang saya lihat pertama kali ( untuk dinasihatkan-pent ) adalah agar para pemuda tidak menyibukkan diri dengan masalah ini, apakah pemerintah itu kafir atau tidak ? apakah boleh memberontak atau tidak ?.. kewajiban mereka para pemuda adalah untuk memperhatikan ibadah yang Alloh wajibkan atas mereka, atau sunnah, dan agar mereka meninggalkan apa yang Alloh larang baik haram ataupun makruh. Dan agar mereka semangat untuk menyatukan hati diantara mereka, dan untuk bersatu, dan agar mereka mengetahui bahwa ikhtilaf dalam masalah agama dan ilmu telah terjadi sejak zaman shahabat radhiyallohu anhum tetapi tidak menimbulkan perpecahan, hatri mereka satu, dan manhaj mereka satu .
[ rincian masalah ]
Adapun yang berkaitan dengan berhukum dengan selain yang Alloh turunkan, maka hal itu seperti yang ada dalam Kitabulloh Al Aziz, terbagi kepada tiga bagian, kufur, dzalim dan fasiq ; sesuai sebab-sebab yang dibangun hukum ini di atasnya.

Jika seorang memutuskan dengan hukum selain yang Alloh turnkan karena mengikuti hawa nafsu bersama masih mengetahui bahwa yang benar adalah yang Alloh putuskan, maka ini tidak kafir tetapi antara fasiq dan dzalim.

Adapun jika ia menetapkan hukum umum yang diterapkan bagi semua orang, ia melihat hal itu termasuk maslahat, dan ia tersamar syubhat ; maka tidak kafir juga ; karena banyak dari pemerintah yang masih bodoh dalam ilmu syariat / agama, dan berhubungan dengan orang-orang yang tidak mengenal hukum syar’iy, sedang mereka menganggapnya sebagi ulama besar maka terjadilah penyelisihan .

Dan jika dia mengetahui syariat tetapi memutuskan hukum itu, atau menyusun hukum itu dan menjadikannya sebagai undang-undang yang dijalani seluruh rakyat, ia meyakini dirinya dzalim dengan perbuatan ini, dan bahwa yang benar adalah yang ada dalam Kitab dan Sunnah, maka kita tidak bisa mengkafirkan orang ini .

Yang kita kafirkan hanyalah : yang memandang bahwa hukum selain Alloh lebih utama jika diikuti manusia, atau sama seperti hukum Alloh Azza Wa Jalla, maka orang ini kafir, karena dia mukadzib ( mendustakan ), karena Alloh Tabaraka Wa Ta’ala berfirman :

﴿ أليس الله بأحكم الحاكمين ﴾ [ التين ٨ ]

Artinya : bukankah Alloh adalah hakim yang paling adil ? ( QS. Tien 8 )

Dan firman Alloh :

﴿ أفحكم الجاهلية يبغون ومن أحسن من الله حكماً لقوم يوقنون ﴾ [ المائدة ٥۰ ]

Artinya ; apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki ? siapakah yang lebih baih hukumnya dari Alloh bagi kaum yang yakin ( QS. Al Maidah 50 ).
[ tidak ada kaitan langsung antara takfir dengan memberontak ]
Kemudian, dalam masalah-masalah ini ; tidak berarti jika kita telah mengkafirkan seseorang maka wajib kita memberontak , karena pemberontakan akan menimbulkan banyak mafsadah yang besar yang lebih besar daripada diam, dan kita saat ini tidak bisa memberikan contoh dari apa yang telah terjadi dalam hal ini pada bangsa arab maupun selain arab.
[ diantara syarat memberontak atas penguasa kafir ]
Dan hanya saja , jika kita benar-benar telah menyimpulkan bolehnya memberontak  secara syariat, maka kita harus telah memiliki persiapan dan kekuatan sama seperti kekuatan penguasa atau lebih besar lagi .
[ memberontak tanpa ada kemampuan adalah kebodohan ]
Adapun jika rakyat memberontak dengan modal pisau dapur dan bambu runcing, sedangkan mereka memilki tank dan roket bom dan lainnya ; maka ini adalah kebodohan tanpa diragukan lagi dan menyelisihi syariat “ fatwa selesai.


Penutup kitab
Saya memohon kepada Alloh agar memberi hidayah kepada seluruh pemerintah, dan taufiq agar mereka berhukum dengan Kitabulloh dan Sunnah Nabi shollallohu alaihi wa sallam, dan agar mereka semua bersatu di atas kebenaran, dan menjadikan mereka sebagai pembela dan pelayan islam dan muslimin.

Sebagaimana saya memohon kepada Alloh Ta’ala agar memberi hidayah kepada yang tersesat dari kaum  muslimin, dan menyatukan hati-hati mereka, dan menjadikan kami dan mereka dapat melihat dengan jelas kebenaran sebagi kebenaran dan menjadikan kita semua mempu mengikutinya serta jelas bagi kita batil sebagi batil serta menjadikan kita mampu meninggalkannya.

Wal hamdu lillah dauman wa abadan, dhahiran wa bathinan, wa shollallohu ala nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi  wa sallam . Wassalam alaikum wa rahmatullohi wa barokatuh.

Akhukum / Bandar bin Nayif Al Mihyani al Utaiby

27/1/1427 H

Penerjemah : Ustadz Abdul Hakim Lc

---------------
[1] . berkata Ibnu Taimiyah tentang tafsir tabiien rahimahumulloh : “ jika mereka berijma atas sesuatu maka tidak diragukan bahwa itu adalah hujjah, adapun jika mereka berikhtilaf maka ucapan sebagian mereka tidak menjadi hujjah atas ucapan yang lain, tidak pula atas orang yang setelah mereka, maka harus dikembalikan kepada bahasa Al Quran atau Sunnah atau keumuman bahasa arab atau ucapan para shahabat dalam hal itu “ ( Al Fatawa 13/370 ).

Beliau juga berkata rahimahulloh : “ siapa saja yang menyeleweng dari pendapat shahabat dan tabiien dan tafsir mereka kepada yang menyelisihi itu, maka dia salah dalam hal itu, bahkan mubtadie’, adapun jika ia mujtahid maka ia diampuni kesalahannya “ ( Al Fatawa : 13/361 ).

[2] . demikian ! bisa jadi ungkapan ini terbalik , dan yang benar : “ keyakinan dan iman mereka tentang keharaman yang haram dan kehalalan yang halal tetap / tidak berubah “ .

[3] . saya mengambil fatwa ini dari kaset : “ Attahrir fy Mas’alatit Takfier “, diproduksi oleh Tasjilat Ibnul Qayyim Kuwait, dan saya pisahkan antar paragrafnya dengan menambah judul di antara tanda kurung [ ] .
http://firanda.com