Selasa, 16 Juli 2013

Download Tafsir Ibnu Katsir Lengkap 30 Juz Terjemahan Indonesia

Tafsir Ibnu Katsir lengkap 30 juz beserta terjemahan dalam bahasa indonesia saat ini bisa anda download full gratis melalui yusuf blog ini, tafsir Al-Quran 30 juz karya Ibnu Katsir ini bisa anda download lengkap dalam satu paket download tanpa terpisah, melalui mediafire dengan ukuran file 115 MB.
Ibnu katsir adalah seorang ulamak dan pemikir islami yang sangat terkenal dengan karya-karya tulisnya yang sangat banyak, salah satu yang sangat terkenal dari karya beliau adalah Tafsir Ibnu Katsir yang sudah sangat populer di kalangan umat islam. Sebuah kitab yang berisi tentang tafsir dari kitab suci Al-Quran.

Ismail bin katsir adalah nama asli dari Ibnu katsir, beliau lahir di Busra Suriah pada tahun 1301 dan meninggal di damaskus Suriah pada tahun 1372 dalam usia 71 tahun.
Diantara guru-guru Ibnu Katsir adalah Burhanuddin al-Fazari,beliau juga berguru kepada Ibnu Taymiyyah di Damaskus, Suriah, dan kepada Ibnu al-Qayyim. Ia mendapat arahan dari ahli hadis terkemuka di Suriah, Jamaluddin al-Mizzi, yang di kemudian hari menjadi mertuanya. Ia pun sempat mendengar langsung hadis dari ulama-ulama Hejaz serta memperoleh ijazah dari Al-Wani.
Tahun 1366, oleh Gubernur Mankali Bugha Ibnu Katsir diangkat menjadi guru besar di Masjid Ummayah Damaskus.Ibnu katsir meninggal dunia tidak lama setelah ia menyusun kitab Al-Ijtihad fi Talab al-Jihad (Ijtihad Dalam Mencari Jihad) dan dikebumikan di samping makam gurunya, Ibnu Taimiyah.
Wajib bagi kaum muslimin memperdalam dan memahami isi dari kitab suci Al-Quran, maka kitab tafsir ibnu katsir lengkap 30 juz dan terjemahan dalam bahasa indonesia ini layak untuk saudara download dan miliki secara gratis.
Tafsir Ibnu Katsir Juz 2
Tafsir Ibnu Katsir Juz 3
Tafsir Ibnu Katsir Juz 4
Tafsir Ibnu Katsir Juz 5
Tafsir Ibnu Katsir Juz 6
Tafsir Ibnu Katsir Juz 7
Tafsir Ibnu Katsir Juz 8
Tafsir Ibnu Katsir Juz 9
Tafsir Ibnu Katsir Juz 10
Tafsir Ibnu Katsir Surat At Taubah (Juz 11)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Yunus (Juz 11)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Huud (Juz 12)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Yusuf (Juz 12)
Tafsir Ibnu Katsir Juz 13
Tafsir Ibnu Katsir Juz 14
Tafsir Ibnu Katsir Juz 15
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Kahfi (Juz 16)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Maryam (Juz 16)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Thoha (Juz 16)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Anbiyaa (Juz 17)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Hajj (Juz 17)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Mu’minuun (Juz 18)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Ahqaaf (Juz 26)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Muhammad (Juz 26)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Fath (Juz 26)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Hujurat (Juz 26)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Qaaf (Juz 26)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Adz Dzariyat (Juz 27)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Ath Thuur (Juz 27)
Tafsir Ibnu Katsir Surat An Najm (Juz 27)
Tafsir Ibnu Katsir Surat AL Qomar (Juz 27)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Ar Rahman (Juz 27)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Waqi’ah (Juz 27)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Hadid (Juz 27)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Mujadilah (Juz 28)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Hasyr (Juz 28)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Mumtahanah (Juz 28)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Ash Shaf (Juz 28)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Jumuah (Juz 28)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Munaafiqun (Juz 28)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Ath Thoghabun (Juz 28)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Ath Thalaq (Juz 28)
Tafsir Ibnu Katsir Surat At Tahrim (Juz 28)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Mulk (Juz 29)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Qolam (Juz 29)
Tafsir Ibnu Katsir Surat AL Haqqoh (Juz 29)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Ma’arij (Juz 29)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Nuh (Juz 29)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Jin (Juz 29)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Muzammil (Juz 29)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Mudatstsir (Juz 29)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Qiyamah (Juz 29)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Insaan (Juz 29)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Mursalaat (Juz 29)
Tafsir Ibnu Katsir Surat An Naba (Juz 30)
Tafsir Ibnu Katsir Surat An Nazi’at (Juz 30)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al ‘Abasa (Juz 30)
Tafsir Ibnu Katsir Surat At Takwir (Juz 30)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Muthoffifin (Juz 30)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Buruuj (Juz 30)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Ath Thoriq (Juz 30)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Ghasyiyah (Juz 30)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Fajr (Juz 30)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Asy Syams (Juz 30)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Alamnasyrah (Juz 30)
Tafsir Ibnu Katsir Surat At Tin (Juz 30)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al ‘Alaq (Juz 30)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Qodr (Juz 30)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Bayyinah (Juz 30)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Zalzalah (Juz 30)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al ‘Adiyat (Juz 30)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Qaari’ah (Juz 30)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al ‘Ashr (Juz 30)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Humazah (Juz 30)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Fill (Juz 30)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Quraisy (Juz 30)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Maa’uun (Juz 30)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Kautsar (Juz 30)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Kafiruun (Juz 30)
Tafsir Ibnu Katsir Surat An Nashr (Juz 30)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Ikhlash (Juz 30)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Mu’awwidzatain (Juz 30)


http://mkaruk.com/download-tafsir-ibnu-katsir-lengkap-30-juz-terjemahan-indonesia/

Senin, 15 Juli 2013

Menyelami Makna Bid’ah


Definisi bid’ah.
Pembaca yang budiman, para ulama ketika mendefinisikan sesuatu, mereka selalu membawakan definisi dari sisi bahasa dan istilah. Karena makna syar’i bila bertentangan dengan makna lughawi (bahasa), maka lebih didahulukan makna syar’I sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab ushul fiqih.
Contohnya adalah sholat, secara bahasa artinya do’a, dan secara istilah syari’at artinya perbuatan dan perkataan yang khusus yang dimulai dengan takbirotul ihram dan di akhiri dengan salam.
Bila ada orang yang berpendapat bahwa orang yang berdo’a sudah mencukupinya sehingga tidak perlu sholat lagi, dengan alasan bahwa sholat secara bahasa artinya do’a. tentu pendapat ini sangat batil, karena yang dimaksud dengan sholat yang diperintahkan oleh Allah dan Rosul-Nya adalah sholat dengan tata cara yang telah kita ketahui bersama.
Demikian pula bid’ah, makna bid’ah secara bahasa tidak boleh dibawa kepada makna bid’ah secara istilah syari’at, namun ia berhubungan sebagaimana akan kita jelaskan.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata,” Bid’ah ada dua macam: bid’ah syari’at seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :
فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
            “Sesungguhnya setiap yang ada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat”.
Dan bid’ah lughowiyah (bahasa) seperti perkataan umar bin Khaththab ketika mengumpulkan manusia untuk sholat tarawih :”Inilah sebaik-baiknya bid’ah”.[1]
Dan yang harus difahami adalah bahwa Allah dan Rosul-Nya selalu menyampaikan syari’at ini dengan makna syari’at, seperti bila Allah dan Rosul-Nya menyebutkan sholat, maka maknanya adalah perbuatan dan perkataan yang dimulai dengan takbirotul ihram dan diakhiri dengan salam. demikian pula kata bid’ah, bila diucapkan oleh pemilik syari’at maka harus dibawa kepada makna syari’at, bukan makna bahasa.
Bid’ah secara bahasa.
Secara etimologi, bid’ah artinya setiap perkara baru yang diadakan atau diciptakan tanpa adanya contoh terlebih dahulu. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :
بَدِيْعُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ.
            “Allah pencipta langit dan bumi (tanpa contoh)”. (QS Al Baqarah : 117).[2]
Makna secara bahasa ini mencakup perkara dunia dan akhirat, sehingga dapat kita katakan bahwa mobil, kereta, pesawat, handphone, ilmu mushtolah hadits dan lain-lain adalah bid’ah secara bahasa, karena tidak ada contoh sebelumnya. Namun sesuatu yang menurut bahasa bid’ah, belum tentu secara istilah dianggap bid’ah.
Bid’ah secara istilah.
Memang tidak ada dalam Al Qur’an dan assunnah nash yang menyebutkan definisi bid’ah secara istilah syari’at, akan tetapi para ulama memberikan definisi setelah mengumpulkan nash-nash syari’at.
Para ulama berbeda-beda ungkapan dalam mendefinisikan bid’ah. Imam Asy Syafi’I rahimahullah dalam riwayat Ar Rabie’ berkata :” Bid’ah adalah sesuatu yang menyelisihi al qur’an, atau sunnah, atau atsar para shahabat Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam “.[3]
Asy Syathibi rahimahullah berkata,” Bid’ah adalah sebuah tata cara dalam agama yang dibuat-buat yang menyerupai syari’at yang maksudnya adalah berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala”.[4]
Ibnu Rajab rahimahullah berkata,” Yang dimaksud dengan bid’ah adalah setiap yang diadakan dari apa-apa yang tidak ada asalnya dalam syariat yang menunjukkan kepadanya, adapun bila ada asal (dalil) syari’at yang menunjukkan kepadanya maka bukanlah bid’ah secara syari’at walaupun dianggap bid’ah secara bahasa”.[5]
As suyuthi rahimahullah berkata,”Bid’ah adalah ungkapan tentang perbuatan yang bertabrakan dengan syari’at dengan cara menyelisihinya atau melakukannya dengan cara menambah atau mengurangi”.[6]
Dari definisi para ulama di atas dapat kita simpulkan dalam beberapa poin :
1.     Ruang lingkup bid’ah secara istilah hanya terbatas dalam masalah agama (ibadah), ini di tunjukkan oleh definisi As Syathibi. Bid’ah inilah yang maksud oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa setiap bid’ah adalah sesat.
Maka keluar dari batasan “agama” adalah masalah yang bersifat duniawi. Mengapa demikian ? karena dalil-dalil syari’at menunjukkan bahwa pada asalnya segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah duniawi adalah halal dan suci, diantaranya adalah firman Allah Ta’ala QS Al Baqarah ayat 29 :
هُوَ الَّذِيْ خَلَقَ لَكُمْ مَّا فِي الأَرْضِ جَمِيْعًا
            “Dialah (Allah) yang menciptakan untukmu semua yang ada di bumi ini”.
Redaksi ayat ini dalam rangka imtinan (mengungkit kenikmatan) dan imtinan pastilah dengan sesuatu yang mubah dan halal.
Dalam Hadits Muslim dari ‘Aisyah, Tsabit dan Anas, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melewati suatu kaum yang sedang mengawinkan (bunga kurma), maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda.” Kalau kamu tidak lakukan itu, ia tetap akan bagus”. Maka pohon kurma itu mengeluarkan buah yang jelek. Suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melewati mereka lagi dan bersabda,”Ada apa dengan pohon kurma kalian ? Mereka berkata,” Engkau mengatakan begini dan begitu “. Beliau bersabda :
أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأُمْرِ دُنْيَاكُمْ.
“Kamu lebih mengetahui urusan dunia kalian “.[7]
            Maka urusan menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram, demikian juga pensyari’atan ibadah, serta penjelasan jumlah, tata cara dan waktunya, dan peletakan kaidah-kaidah umum dalam mu’amalat hanya berasal dari Allah dan Rosul-Nya, bukan urusan ulil amri dari kalangan ulama ataupun umara’. Kita dan mereka setara dalam masalah ini, maka segala perselisihan dalam urusan ini tidak boleh dikembalikan kepada mereka, namun harus dikembalikan kepada Allah dan Rosul-Nya.
Adapun untuk urusan dunia mereka lebih faham dari kita, para ahli pertanian lebih mengetahui apa yang dapat memperbaiki dan meningkatkan kwalitasnya, apabila mereka mengeluarkan sebuah perintah yang berhubungan dengan pertanian, maka kewajiban umat adalah mentatati mereka. Demikian juga ahli perniagaan dan ekonomi ditaati dalam urusan yang berhubungan dengannya.
Kembali kepada ulil amri dalam kemashlahatan umum sama dengan kembali kepada para dokter dalam mengetahui obat yang berbahaya agar tidak dikonsumsi dan obat yang bermanfaat agar dapat digunakan.
Namun ini bukan berarti dokter yang menghalalkan kepada kita yang bermanfaat dan mengharamkan yang berbahaya, akan tetapi ia hanya sebagai pembimbing saja. Yang menghalalkan dan mengharamkan hanyalah Allah saja, sebagaimana firman-Nya :
وَيُحِلُّ لَهُمْ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ.
            “(Allah) Yang menghalalkan untuk mereka segala yang baik dan mengharamkan atas mereka segala yang buruk”. (QS Al A’raaf : 157).[8]
Ini adalah madzhab jumhur ushuliyyin (ahli ushul fiqih) dan Muhaqqiqin, bahwa pada asalnya segala sesuatu yang berhubungan dengan urusan dunia ini adalah halal, maka kita boleh memproduksi apa saja yang bermanfaat dalam kehidupan dunia ini, walaupun di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak ada, seperti berbagai jenis perabotan, sarana transportasi, pengeras suara, dan berbagai kemajuan tekhnologi lainnya. Walaupun ini semua dikatakan bid’ah, namun hanya sebatas bid’ah secara bahasa saja dan bukan bid’ah secara istilah syari’at.
Sedangkan ibnu Abi Hurairah dari Syafi’iyyah dan mu’tazilah baghdad serta Rafidlah berpendapat bahwa pada asalnya sesuatu yang berhubungan dengan dunia ini adalah haram, alasan mereka yang paling kuat adalah bahwa bumi milik Allah, sedangkan pada asalnya milik orang lain adalah terlarang kecuali dengan idzin pemiliknya.
Namun pendapat ini adalah pendapat yang lemah, karena Allah telah memberikan idzin kepada manusia untuk mempergunakan apa yang ada di bumi ini selama tidak haram atau tidak menimbulkan mudlarat yang besar, sebagaimana yang ditunjukkan oleh ayat dan hadits di atas.
Ketika ibnus Subki Asy Syafi’i menemukan sebagian syafi’iyah berpendapat bahwa pada asalnya segala sesuatu itu haram, beliau berkata dalam (Al Ibhaj 1/138) :” Al Qadli Abu Bakar menyebutkan dalam attalkhish bahwa mereka itu tidak mempunyai kekokohan dalam ilmu kalam, dan barang kali mereka membaca kitab-kitab mu’tazilah dan menganggap baik kaidah tersebut, sehingga mereka berpendapat dengan pendapat tersebut, dan lalai bahwa kaidah tersebut adalah keluar dari pokok firqah Qodariyah”.[9]
Kaidah dalam masalah ibadah.
Bila kita telah mengetahui bahwa masalah duniawi pada asalnya adalah halal, maka yang harus kita ketahui juga adalah bahwa masalah ibadah pada asalnya adalah haram kecuali bila ada dalil yang memerintahkan.
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata dalam I’lamul muwaqqi’in :” Telah diketahui bahwa tidak ada yang haram kecuali yang diharamkan oleh Allah dan rosul-Nya, dan tidak ada dosa kecuali yang dianggap dosa oleh Allah dan rosul-Nya. Sebagaimana tidak ada yang wajib kecuali yang diwajibkan oleh Allah dan rosul-Nya, dan tidak ada agama kecuali yang Allah syari’atkan. Maka pada asalnya dalam ibadah adalah terlarang sampai tegak dalil yang memerintahkannya. Sedangkan dalam ‘aqad dan mu’amalat pada asalnya adalah sah sampai tegak dalil yang membatalkannya.
Perbedaan antara keduanya adalah bahwa sesungguhnya Allah tidak diibadahi kecuali sesuai dengan apa yang Dia syari’atkan melalui lisan para rosul-Nya, karena ibadah itu hak Allah atas hamba-hambaNya, dan hak-Nya adalah yang Allah ridlai dan syari’atkan “.[10]
Maka oleh karena ibadah itu adalah hak Allah semata, maka tidak mungkin tata caranya diserahkan kepada selera manusia, karena yang menurut manusia baik belum tentu disisi Allah baik. Maka sangat aneh ketika seseorang yang melakukan bid’ah diingkari, ia berkata,” Mana dalilnya kalau perbuatan itu terlarang (bid’ah) ? padahal justru karena tidak ada dalilnya perbuatan itu jadi terlarang, sebab pada asalnya ibadah itu terlarang sampai ada dalil yang memerintahkannya.
2.     bid’ah adalah sesuatu yang tidak ditunjukkan oleh dalil dalam syari’at, adapun yang ditunjukkan oleh kaidah-kaidah syari’at maka bukanlah bid’ah secara istilah syari’at walaupun dari sisi bahasa ia dikatakan bid’ah.
Ini ditunjukkan oleh definisi ibnu Rajab. Maka yang bersumber dari Al Qur’an dan sunnah bukanlah bid’ah secara istilah syari’at walaupun dianggap bid’ah secara bahasa, contohnya adalah mengumpulkan al qur’an, shalat tarawih berjama’ah dengan satu imam, mengadakan adzan jum’at kedua, mengharokati dan memberi titik kepada Al Qur’an, dan menyusun ilmu-ilmu syari’at seperti ilmu Nahwu, shorof, mustholah hadits, ushul fiqih dan lain-lain.
Dan inilah makna perkataan Umar bin Khaththab ketika mengumpulkan manusia untuk shalat tarawih berjama’ah dengan satu imam :” Inilah sebaik-baik bid’ah “. Maksudnya adalah bid’ah menurut bahasa bukan menurut istilah syari’at, karena bagaimana mungkin perkataan Umar tersebut dibawa kepada bid’ah menurut istilah syari’at, padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri yang mencontohkannya, sebagaimana yang dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam sunannya no 1373 ia berkata haddatsana Al Qo’nabi dari Malik bin Anas dari ibnu Syihab dari ‘Urwah bin Zubair dari Aisyah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah sholat (tarawih) di masjid, maka orang-orang mengikuti sholatnya, kemudian di hari kedua beliau sholat lagi, maka manusia menjadi banyak yang hadir, kemudian di malam yang ketiga manusia telah berkumpul, akan tetapi Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak keluar. Di pagi harinya beliau bersabda :
قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ فَلَمْ يَمْنَعْنِيْ مِنَ الْخُرُوْجِ إِلَيْكُمْ إِلاَّ أَنِّيْ خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ. وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ.
            “Aku telah melihat apa yang kalian lakukan, tidak ada yang menghalangiku keluar kepada kalian kecuali karena aku takut diwajibkan atas kalian “. Dan itu terjadi pada bulan Ramadlan.
Sanad hadits ini tidak diragukan lagi keshahihannya, karena semua perawinya masyhur akan ketsiqohannya.
Al Hafidz ibnu Rajab berkata,” Adapun yang ada pada perkataan ulama salaf terdahulu yang menganggap baik sebagian bid’ah, maka ia adalah bid’ah menurut bahasa bukan bid’ah menurut istilah syari’at, diantaranya adalah perkataan Umar bin Khaththab :” inilah sebaik-baiknya bid’ah”. Maksud beliau adalah bahwa belum dilakukan dengan cara seperti itu sebelum waktu tersebut. Akan tetapi ia mempunyai asal dalam syari’at yang menjadi rujukan, diantaranya adalah anjuran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk qiyam ramadlan, dan adalah manusia di zamannya melakukan shalat (qiyamulail) di masjid menjadi beberapa jama’ah yang terpencar dan ada juga yang melakukannya sendirian, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat bersama para shahabatnya di bulan Ramadlan lebih dari satu malam, kemudian beliau berhenti dengan alasan takut diwajibkan kepada mereka, dan alasan ini telah hilang setelah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam wafat”.[11]
Ini pula yang diinginkan oleh imam Asy Syafi’I, beliau membagi bid’ah menjadi dua macam : bid’ah mahmudah (yang terpuji), dan bid’ah madzmumah (yang tercela). Beliau mendefinisikan bid’ah yang terpuji sebagai bid’ah yang sesuai dengan sunnah atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an, Sunnah, Atsar maupun ijma’.[12]
Sesuatu yang sesuai dengan sunnah tidak boleh disebut bid’ah menurut istilah syari’at, walaupun dianggap bid’ah menurut bahasa. Sedangkan yang bertentangan dengan sunnah maka itulah hakikat bid’ah yang sesat, sebuah contoh adalah bahwa imam Asy Syafi’I menganggap tahlilan sebagai sesuatu yang diharamkan, beliau berkata :
وأكره المأتم وهي الجماعة وإن لم يكن لهم بكاء فإن ذالك يجدد الحزن
“ Dan aku mengharamkan ma’tam yaitu berkumpul (di rumah keluarga mayit), meskipun disitu tidak ada tangisan, karena hal itu malah akan menimbulkan kesedihan baru”.[13]
Bahkan madzhab Asy Syafi’iyah sendiri mengharamkan tahlilan dan menganggapnya sebagai bid’ah yang mungkar, sebagaimana disebutkan dalam kitab I’anatu thalibin 2/165. Yang anehnya sebagian orang berdalil dengan perkataan imam Syafi’I untuk menetapkan adanya bid’ah hasanah diantaranya adalah tahlilan, padahal imam Syafi’I dan para pengikutnya menganggapnya sebagai bid’ah yang mungkar.
3.     setiap perkara yang menyelisihi Al Qur’an, atau sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau atsar para shahabatnya adalah bid’ah yang sesat.
Ini ditunjukkan oleh definisi imam Asy Syafi’I dalam riwayat Rabie’ di atas. lalu apakah yang dimaksud menyelisihi dalam perkataan beliau tersebut ? diantara maknanya adalah melakukan suatu ibadah atau tata cara ibadah yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya. Oleh karena itu imam Asy Syafi’I mengharamkan ma’tam (tahlilan) sebagaimana telah kita sebutkan diatas. Dan ini yang ditunjukkan oleh perkataan para ulama setelahnya.
Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan An Najm : 39, merajihkan tidak sampainya pahala bacaan Al Qur’an kepada mayat, beliau beralasan,” Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah menyunnahkannya kepada umatnya, tidak pula menganjurkannya, dan tidak pula membimbing untuk melakukannya baik dengan nash maupun dengan isyarat, dan perbuatan itu juga tidak pernah dinukil dari para shahabat seorang pun, kalaulah itu baik tentu mereka telah mendahului kita kepada perbuatan tersebut. Dan masalah qurubat (ibadah) hanya terbatas dengan apa yang ada dalam nash dan tidak boleh dipergunakan pada qiyas tidak juga ra’yu. Adapun do’a dan shodaqoh maka ia sampai kepada mayat dengan kesepakatan ulama karena adanya nash dari Asy Syari’ (Allah)”.[14]
Beliau beralasan karena hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya.
Imam An Nawawi Rahimahullah ketika menganggap shalat raghaib dan nishfu Sya’ban sebagai bid’ah yang mungkar beliau berkata,” Alhamdulillah, dua sholat tadi tidak pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak juga seorangpun dari shahabat tidak pula imam yang empat, tidak pernah juga dilaksanakan oleh ulama yang dijadikan panutan, dan tidak sah satupun hadits mengenai hal itu, ia baru diadakan pada generasi-generasi terakhir, dan mengerjakan dua sholat tersebut termasuk bid’ah yang mungkar…”.[15]
Syaikh Abdul Qadir Jailani rahimahullah ketika menetapkan keyakinan bahwa Allah bersemayam di atas ‘Arasy, beliau berkata,” Bersemayam dzat-Nya di atas ‘Arasy bukan dengan makna duduk menyentuh sebagaimana yang dikatakan oleh mujassimah dan karomiyah, bukan juga dengan makna berkuasa sebagaimana yang dikatakan oleh mu’tazilah, karena syari’at ridak menyebutkan demikian, tidak pula ada nukilan dari para shahabat, tabi’in dan salafusshalih dari kalangan ashhabul hadits seorang pun juga “.[16]
Perkataan-perkataan para ulama di atas memberi pemahaman kepada kita, bahwa setiap ibadah atau keyakinan yang tidak pernah dilakukan atau tidak pernah diyakini oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya adalah bid’ah yang mungkar, dan ini berlaku kepada banyak amalan di zaman ini seperti perayaan maulud Nabi, perayaan isra mi’raj, perayaan tahun baru dan lain-lain karena semua itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para shahabatnya, walaupun diperbolehkan dengan dalih adanya fatwa sebagian ulama, karena ulama dapat diterima perkataannya bila tidak menyelisihi Al Qur’an, sunnah dan atsar para shahabat.
4. bahwa bid’ah (menurut makna syari’at) semuanya sesat, maka tidak ada bid’ah hasanah, karena bid’ah bertentangan dengan syari’at sehingga semuanya tercela.
Kaidah ini ditunjukkan oleh sunnah dan ijma’ para shahabat. Jabir radliyallahu ‘anhu berkata,” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam biasa berkata di dalam khutbahnya : memuji Allah dan menyanjung-Nya sesuai dengan keagungan-Nya, kemudian beliau bersabda :
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم وَشَرَّ الأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.
            “Siapa saja yang Allah tunjuki maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan siapa saja yang Dia sesatkan maka tidak ada yang dapat memberinya hidayah. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan seburuk-buruknya perkara adalah yang diada-adakan, dan setiap yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan di dalam api Neraka”. (HR An Nasai, ibnu Khuzaimah dan lainnya).[17]
Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan bahwa setiap bid’ah adalah sesat, dan kata “kullu” adalah termasuk lafadz-lafadz yang umum sebagaimana termaktub dalam kitab-kitab ilmu ushul fiqih dan bahasa arab. Dan ini dikuatkan oleh pemahaman para shahabat sebagaimana yang dikeluarkan oleh Al laalikai dalam kitab syarah I’tiqad ahlissunnah wal jama’ah dengan sanadnya kepada Abdullah bin Umar radliyallahu ‘anhuma ia berkata,” Setiap bid’ah itu sesat walaupun dipandang baik oleh manusia”.[18]
Di dalam kisah yang terkenal dari ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu ketika beliau melewati masjid yang ada padanya suatu kaum yang sedang duduk berhalaqoh-halaqoh, mereka membaca takbir, tahlil dan tasbih dengan tata cara yang tidak pernah dilakukan oleh Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya. Ibnu Mas’ud mengingkari mereka dan berkata :
عُدُّوْا سَيِّئَاتِكُمْ فَأَنَا ضَاِمٌن أَنْ لاَ يَضِيْعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَيْءٌ, وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ ! هَؤُلاءِ صَحَابَةَ نَبِيِّكُمْ مُتَوَافِرُوْنَ وَ هَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ. وَالَّذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ أَوْ مُفْتَتِحُوا بَابَ ضَلاَلَةٍ. قَالُوا : يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ. قَالَ : وَكَمْ مِنْ مُرِيْدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيْبَهُ.
            “Hitung saja kesalahan-kesalahan kalian, aku jamin tidak akan sia-sia kebaikan kalian sedikitpun. Celaka kalian wahai umat Muhammad, betapa cepatnya kebinasaan kalian ! Mereka para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masih banyak, dan ini bajunya belum lusuh, dan bejananya pun belum pecah. Demi Dzat yang diriku berada di tangan-Nya, apakah kalian berada di atas hidayah lebih tertunjuki dari agama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, ataukah kalian membuka pintu kesesatan ?
Mereka berkata,” Wahai Abu Abdirrahman, kami hanya menginginkan kebaikan”. Beliau menjawab,”Berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan namun ia tidak mendapatkannya”.
Kisah ini diriwayatkan oleh Ad Darimi dalam sunannya[19] : Akhbarona Al Hakam bin Al Mubarok akhbarona ‘Umar bin Yahya aku mendengar ayahku menceritakan dari ayahnya :” Kami duduk-duduk di depan rumah Abdullah bin Mas’ud sebelum sholat shubuh, apabila beliau telah keluar, kamipun berjalan bersamanya menuju masjid, lalu Abu Musa Al Asy’ari mendatangi kami dan berkata,” Apakah Abu Abdirrahman telah keluar ? setelah kami berkata tidak, ia pun duduk bersama kami hingga beliau keluar, ketika beliau telah keluar, kami semua bangkit kepadanya. Abu Musa Al Asy’ari berkata,” Wahai Abu Abdirrahman, tadi aku melihat di masjid suatu perbuatan yang aneh, dan aku memandangnya sebagai sebuah kebaikan alhamdulillah”. Ia berkata,” Apa itu ? ia menjawab,” Jika masih hidup, engkau akan melihatnya. Aku melihat di masjid suatu kaum berhalaqoh-halaqoh duduk menunggu shalat, setiap halaqoh dipimpin satu orang dan ditangan mereka terdapat batu kerikil, apabila pemimpinnya berkata,” bertakbirlah seratus kali ! mereka pun bertakbir seratus kali. Tahlil 100 kali, merekapun bertahlil seratus kali, bertatsbihlah 100 kali, merekapun melakukannya. Ibnu Mas’ud berkata,” Apa yang engkau katakan kepada mereka ? ia menjawab,” Aku tidak mengatakan apa pun kepada mereka karena menunggu pendapatmu atau menunggu perintahmu…dst.

Qultu : sanad hadits ini jayyid, Al Hakam bin Al mubarok di tsiqohkan oleh ibnu Mandah dan ibnu hibban namun ibnu ‘Adi mengisyaratkan bahwa ia termasuk perawi yang mencuri hadits sehingga Al Hafidz ibu Hajar mengatakan tentangnya : shoduq rubbama wahim, sementara Adz Dzahabi dalam Al kasyif berkata,” Tsiqah”.

Sedangkan ‘Umar bin Yahya yang benar adalah Amru bin yahya yaitu bin Amru bin salamah, ibnu Ma’in dalam riwayat Ahmad bin Abi Yahya berkata,” Laisa bisyai’ “. Namun Ahmad bin Abi yahya ini adalah Al Anmathi ia kadzdzab sebagaimana yang dikatakan oleh Adz Dzahabi dalam Al Mizan, dan dalam riwayat Al Laits bin ‘Abdah ibnu Ma’in berkata,” La yurdla (tidak diridlai) “. (Al Kamil ibnu ‘Adi) Namun perawi dari Al Laits adalah Ahmad bin Ali  yaitu Al Madaaini, ibnu yunus berkata,” laisa bidzaaka”. (Mizanul I’tidal 1/122). Sementara dalam riwayat Ishaq bin Manshur, ibnu Ma’in berkata,” Tsiqah “. (Al Jarhu watta’dil ibnu Abi Hatim 6/269). Dan ini adalah riwayat yang paling kuat. Adapun perkataan ibnu Kharrasy mengenai ‘Amru :” Laisa bimardliyy (tidak diridlai)”. Adalah jarh yang mubham tidak mufassar sehingga dapat kita simpulkan bahwa ‘Amru bin yahya adalah perawi yang tsiqah, karena ibnu Ma’in seorang ulama yang dikategorikan mutasyaddid dalam tautsiq, maka apabila beliau mentsiqohkan seorang perawi maka gigitlah kuat-kuat, kecuali bila bertentangan degan jumhur. Wallahu a’lam.
Kisah ini adalah praktek dari hadits Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam bahwa semua bid’ah adalah sesat. Dalam kisah tersebut mereka berhujjah dengan niat dan tujuan yang baik, sehingga mereka memandang baik perbuatan tersebut, lebih-lebih yang mereka ucapkan adalah dzikir-dzikir yang asalnya disyari’atkan.
Namun Abdullah bin Mas’ud radliyallahu ‘anhu tidak memandang dari asal hukum dzikir, beliau memandang dari sisi tata caranya yang tidak pernah dilakukan oleh Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya. Beliau berkata,” Berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan namun ia tidak mendapatkannya”. Artinya sebatas niat yang baik tidaklah cukup bila tata caranya tidak sesuai dengan praktek Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya.
Inilah yang difahami oleh para shahabat Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu bahwa semua bid’ah adalah sesat, Dan pendapat mereka tidak diselisihi oleh shahabat lainnya sehingga menjadi hujjah, imam Asy Syafi’I berkata,” dan jika salah seorang dari mereka (para shahabat) berpendapat dan tidak diselisihi oleh shahabat lain, kamipun tetap mengambil pendapatnya “.[20] adapun perkataan Umar bin Khaththab :” Inilah sebaik-baiknya bid’ah”. Maksudnya adalah bid’ah menurut bahasa bukan menurut istilah syari’at sebagaimana telah kita bahas.
Bila ada yang bertanya, benarkah kata kullu selalu berarti semua ? jawabnya adalah benar, karena semua ahli ushul fiqih menyatakan bahwa kullu adalah termasuk lafadz-lafadz umum. Dalam kitab Nuzhatul khatir syarah kitab roudlatunnaadzir disebutkan :” Lafadz-lafadz umum ada lima macam yaitu… macam keempat : Kullu dan jamii’.[21] Dan lafadz yang umum tidak boleh dikhususkan kecuali dengan dalil, dan tidak ada dalil yang memalingkan hadits kullu bid’ah dlolalah (setiap bid’ah adalah sesat).





[1] Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’anil ‘Adziem 1/223. Cet. Maktabah taufiqiyah, Tahqiq Hani Al Haaj.
[2] Mana dalilnya, hal 13. Dan makna ini adalah benar sesuai dengan apa yang dikatakan oleh para ulama dalam kitab-kitab mereka, namun sayang penulis kitab mana dalilnya tidak memahami tujuan makna bid’ah secara bahasa dan istilah.
[3] I’lamul muwaqqi’in 2/151, tahqiq Masyhur Hasan Salman.
[4] Al I’tishom 1/50, tahqiq Salim bin ‘Ied Al Hilali.
[5] Jami’ul ‘ulum wal hikam 2/127 tahqiq Syu’aib Al Arnauth.
[6] Al Amru bil ittiba’ wan nahyu ‘anil ibtida’ hal 88.
[7] Muslim 4/1836 no 2363. Tarqim Muhammad Fuad Abdul Baqi.
[8] Muhammad Ahmad Al’Adawi, Ushul fil bida’ wassunan hal 94.
[9] At Tahqiqat wattanqihat assalafiyat ‘ala matnil waraqat, karya Syaikh Masyhur Salman hal 588-589.
[10] Lihat ilmu ushul bida’ karya Syaikh Ali Hasan hal. 70.
[11] Ibnu Rajab, Jami’ul ulum wal hikam 2/128. Tahqiq Syu’aib Al Arnauth.
[12] Lihat buku mana dalilnya hal 14-15.
[13] Al Umm 1/248.
[14] Ibnu Katsir, Tafsir AlQur’anil ‘Adziem 7/356-357 cet. Maktabah Taufiqiyah ta’liq Hani Al Haaj.
[15] Lihat kitab Al Bida’ al hauliyah 265-266.
[16] Al Gunyah 1/56.
[17] An Nasai 3/209 no 1577 cet. Ke III Darul ma’rifah Beirut, dan ibnu Khuzaimah dalam shahihnya 3/143 no 1785 cet. II Al Maktabul islami. Dari jalan Abdullah bin Mubarak dari Sufyan Ats Tsauri dari Ja’far bin Muhammad dari ayahnya dari Jabir bin Abdillah. Qultu : sanad hadits ini shahih, Ja’far bin Muhammad yaitu Ash shodiq di tsiqohkan oleh ibnu Ma’in dan Abu Hatim serta imam Asy Syafi’I rahimahumullah. Lihat Al Kasyif 1/295 tahqiq Muhammad ‘Awwamah.
[18] 1/104 no 126, dan ibnu Baththah no 205 dari jalan Syababah haddatsana Hisyam bin Al Ghaaz dari Nafi’ dari ibnu ‘Umar. Qultu : sanad hadits ini shahih, Syababah yaitu bin Sawwaar Al Madaaini, ia tsiqah sebagaimana yang dikatakan oleh Al Hafidz ibnu Hajar dalam attaqrib.
[19] 1/68-69 cet. daar ihya ussunnah annabawiyyah
[20] I’lamul muwaqqi’in karya ibnu Qayyim 2/150 tahqiq Masyhur Hasan Salman.
[21] 2/108 cet. Pertama darul hadits beirut.

Sabtu, 13 Juli 2013

KEUTAMAN MEMBACA DZIKIR “SUBHAANALLAAHI WABIHAMDIHI, SUBHAANALLAAHIL ‘AZHIIM”



20130706-145650.jpg
Oleh: Muhammad Wasitho Abu Fawaz
عن أبي هريرة رضي الله عنه ؛ قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « كَلِمَتَانِ خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ, ثَقِيلَتَانِ فِى الْمِيزَانِ, حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ; سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ » رواه البخاري ومسلم
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Ada dua kalimat (dzikir) yang ringan diucapkan di lidah, (tapi) berat (n besar pahalanya) pada timbangan amal (kebaikan), dan sangat dicintai oleh ar-Rahman (Allah Ta’ala Yang Maha Luas Rahmat-Nya), (yaitu): Subhaanallaahi wabihamdihi, subhaanallahil ‘azhiim (maha suci Allah dengan memuji-Nya, dan maha suci Allah yang maha agung).” (Hadits SHOHIH. Diriwayatkan Oleh imam al-Bukhari (no. 6043 dan 6304) dan imam Muslim (no. 2694).
(*) BEBERAPA PELAJARAN PENTING DAN FAEDAH ILMIYAH YANG DAPAT DIAMBIL DARI HADITS INI:
1. Di dalam Hadits Shohih ini Nabi shallallahu alaihi wasallam menerangkan kepada umatnya tentang amalan-amalan yang dapat mendekatkan mereka kepada Allah Ta’ala, dan memperberat timbangan amalan mereka pada hari Kiamat.
2. Di dalam hadits Shohih ini juga Nabi shallallahu alaihi wasallam menganjurkan kepada umatnya agar banyak membaca dua kalimat dzikir ( سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ ) “Subhaanallaahi wabihamdihi, subhaanallaahil ‘azhiim” secara terus menerus.
3. Hadits ini menunjukkan besarnya keutamaan mengucapkan dua kalimat dzikir tersebut dengan Niat ikhlas karena mengharap pahala dan wajah Allah semata. Dan Akan lebih baik lagi jika seorang muslim dan muslimah membaca dua kalimat dzikir tersebut dengan menghayati kandungan maknanya, karena berdzikir kepada Allah dengan lisan dan hati adalah lebih sempurna dan utama.
4. Mengucapkan Dua kalimat dzikir tersebut merupakan salah satu amalan ringan yang besar pahalanya, karena dapat memperberat timbangan amalan kebaikan seorang hamba pada hari Kiamat kelak.
5. Keutamaan yg besar ini dijanjikan oleh Allah kepada setiap muslim dan muslimah yang membaca dua kalimat dzikir tersebut secara bergandengan.
6. Makna dua kalimat dzikir tersebut telah disebutkan oleh Allah di dalam al-Qur’an sebagai penutup doa dan dzikir para penghuni Surga, yaitu sebagaimana firman Allah Ta’ala:
{دَعْوَاهُمْ فِيهَا سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَتَحِيَّتُهُمْ فِيهَا سَلامٌ وَآخِرُ دَعْوَاهُمْ أَنِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ}
Artinya: “Doa mereka (para penghuni Surga) di dalam Surga adalah: “Subhanakallahumma” (maha suci Engkau, ya Allah), dan salam penghormatan mereka ialah: “Salaam” (kesejahteraan bagimu), serta penutup doa mereka ialah: “Alhamdulillaahi Rabbil ‘aalamin” (segala puji bagi Allah Rabb semesta alam).” (QS. Yunus: 10). (Lihat kitab “Fathul Baari Syarhu SHOHIH Al-Bukhori I/473).
7. Di dalam hadits ini Nabi shallallahu alaihi wasallam menetapkan salah satu nama diantara nama-nama Allah yg maha indah, yaitu AR-RAHMAN (Dzat yang Maha Pengasih).
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqolani rahimahullah berkata: “Dikhususkannya penyebutan nama Allah “ar-Rahman” dalam hadits ini tujuannya untuk menerangkan kepada manusia akan maha luasnya rahmat Allah Ta’ala, di mana Dia memberi balasan bagi amalan yang ringan dengan pahala yang sangat besar.” (Lihat kitab Fathul Bari Syarh SHOHIH Al-Bukhori, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqolani rahimahullah ).
8. Bacaan ( سُبْحَانَ اللَّهِ )“maha suci Allah” artinya adalah aku mensucikan Allah Ta’ala dari segala sifat yang menunjukkan cacat, celaan, kekurangan, dan makna apa saja yang tidak pantas bagi-Nya, serta menetapkan sifat-sifat kesempurnaan bagi-Nya Dari segala sisi.
Sedangkan kalimat dzikir ( وَبِحَمْدِهِ ) “dan dengan memuji Allah” artinya adalah aku menyanjungnya dengan sifat-sifat kesempurnaan-Nya dan perbuatan-perbuatan-Nya yang berkisar diantara keutamaan dan keadilan, maka bagi-Nyalah segala pujian yang sempurna dari segala sisi.
9. Di dalam hadits ini Nabi shallallahu alaihi wasallam menetapkan sifat Cinta bagi Allah Ta’ala yang sesuai dengan kemuliaan Dan keagungan-Nya. Dan sifat Cinta Allah itu tidaklah sama dengan sifat Cinta para makhluk-Nya.
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
Artinya: “Tidak ada sesuatu pun yang sama dengan Dia. Dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syuraa: 11).
10. Hadits Shohih ini juga menetapkan adanya Timbangan Amalan para hamba yang hakiki pada hari Kiamat. Timbangan tersebut berbentuk dan memiliki dua sisi daun timbangan. Akan tetapi kita tidak dapat mengetahui bagaimana bentuk yang sesungguhnya karena hal itu termasuk perkara ghoib yang wajib kita imani.
11. Membaca Tasbih juga memiliki keutamaan lainnya, yaitu Allah Ta’ala akan menanamkan bagi setiap muslim n muslimah yg membacanya sebuah pohon kurma di dalam Surga.
Hal ini berdasarkan Hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ قَالَ سُبْحَانَ الله العظيم وَبِحَمْدِه ، غُرِسَتْ لَهُ نَخْلَةٌ فِى الْجَنَّةِ
Artinya: “Barangsiapa yang membaca ( Subhanallahil ‘Adhim Wabihamdihi ) maka akan ditanamkan (oleh Allah) baginya sebuah pohon kurma di dalam surga.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam Al-Mushannaf, At-Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Al-Hakim, melalui Abu Zubair dari Jabir secara marfu’. At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih.” Sedangkan Al-Hakim mengatakan: “Hadits ini shahih sesuai dengan syarat Muslim.”).
Demikian beberapa pelajaran penting dan faedah ilmiyah yg dapat kami sampaikan. Smg mudah dipahami n menjadi tambahan ilmu yg bbermanfaat. Dan smg Allah memberi taufiq n kemudahan kpd kita semua agar senantiasa sabar n istiqomah dlm beribadah kpda-Nya hingga akhir hayat. (Klaten, 5 Juli 2013)
(*) Catatan:
Sebagian artikel ini disadur n diterjemahkan dari link berikut:
» http://www.alssunnah.com/main/articles.aspx?selected_article_no=4600&menu_id=

HADITS-HADITS SHOHIH TENTANG KEUTAMAAN SURAT AL-KAHFI / الأحاديث الصحيحة في فضل سورة الكهف



Oleh: Muhammad Wasitho Abu Fawaz, Lc
Surat Al-Kahfi merupakan salah satu surat Al-Quran Al-Karim yang mempunyai keagungan dan keutamaan dibanding beberapa surat yang lain. Akan tetapi tidak sedikit dari kaum muslimin yang belum mengetahui keagungan dan keutamaannya, sehingga sebagian mereka jarang atau bahkan hampir tidak pernah membaca dan menghafalnya. Terlebih khusus pada hari dan malam Jumat. Mereka lebih suka dan antusias membaca surat Yasin yang dikhususkan pada malam Jumat dengan harapan mendapatkan keutamaannya. Namun sayangnya, semua hadits yang menerangkan keutamaan surat Yasin tidak ada yang Shohih datangnya dari nabi shallallahu alaihi wasallam.
Demikianlah keadaan umat Islam. Tidaklah mereka bersemangat mengamalkan hadits-hadits lemah dan palsu serta tidak jelas asal-usulnya, maka sebanyak itu pula mereka meninggalkan amalan-amalan sunnah yang dijelaskan di dalam-hadits-hadits shohih dari Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Adapun keutamaan dan keagungan surat Al-Kahfi, maka akan didapatkan oleh setiap muslim dan muslimah yang membacanya dengan niat ikhlas demi mengharap wajah dan ridho Allah, mengimani dan menghayati makna-maknanya serta berusaha mengamalkan hukum dan pelajaran yang terkandung di dalamnya sesuai tuntunan Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Berikut ini kami akan sebutkan hadits-hadits shohih tentang keutamaan surat Al-Kahfi.
Hadits Pertama:
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ :« مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ فِى يَوْمِ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ »
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang membaca surat Al-Kahfi pada hari Jum’at, maka Allah akan menyinarinya dengan cahaya di antara dua Jum’at.”
(Diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrok II/399 no.3392, dan Al-Baihaqi di dalam Sunannya III/249 dengan nomor.5792)
DERAJAT HADITS:
Hadits ini derajatnya SHOHIH.
Al-Hakim berkata: “Isnad Hadits ini shohih, akan tetapi imam Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkannya”.
Syaikh Al Albani berkata: “Hadits ini shohih.” (lihat Shohih Al-Jami’ no. 6470, dan Shohih At-Targhib wa At-Tarhib I/180 no.736).
Hadits Kedua:
عَنْ أَبِى الدَّرْدَاءِ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ : « مَنْ حَفِظَ عَشْرَ آيَاتٍ مِنْ أَوَّلِ سُورَةِ الْكَهْفِ عُصِمَ مِنَ الدَّجَّالِ » وفي رواية ـ من آخر سورة الكهف ـ
Dari Abu Darda’ radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang menghafal sepuluh ayat pertama dari surat Al-Kahfi, niscaya dia akan terlindungi dari (fitnah) Dajjal. Dan di dalam riwayat lain disebutkan: “(sepuluh ayat terakhir) dari surat Al-Kahfi.”
(Diriwayatkan oleh Muslim I/555 no.809, Ahmad V/196 no.21760, Ibnu Hibban III/366 no.786, Al-Hakim II/399 no.3391, dan Al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman V/453 no.2344).
DERAJAT HADITS:
Hadits ini derajatnya SHOHIH.
Syaikh Al Albani berkata: “Hadits ini shohih.” (lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah II/123 no.582).
Dan di dalam hadits lain dijelaskan maksud daripada perlindungan dan penjagaan dari fitnah Dajjal ialah sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:
فَمَنْ أَدْرَكَهُ مِنْكُمْ فَلْيَقْرَأْ عَلَيْهِ فَوَاتِحَ سُورَةِ الْكَهْفِ [ فَإِنَّهَا جِوَارُكُمْ مِنْ فِتْنَتِهِ ]
“…maka barangsiapa di antara kalian yang menjumpai Dajjal, hendaknya ia membacakan di hadapannya ayat-ayat pertama surat Al-Kahfi, karena ayat-ayat tersebut (berfungsi) sebagai penjaga kalian dari fitnahnya.”
(SHOHIH. Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shohihnya bab Dzikru Dajjal, IV/2250 no.2937, dan Abu Daud II/520 no.4321, dari jalan Nawas bin Sam’an radhiyallahu anhu).
Hadits ini dinyatakan SHOHIH oleh syaikh Al-Albani di dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah II/123 no.582, Tahqiq Misykat Al-Mashobih III/188 no.5475, dan Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud IX/321 no.4321.
Hadits Ketiga:
عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « من قرأ سورة الكهف كما أنزلت ، كانت له نورا يوم القيامة من مقامه إلى مكة ، ومن قرأ عشر آيات من آخرها ثم خرج الدجال لم يسلط عليه ، ومن توضأ ثم قال : سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ، كَتَبَ فِي رَقٍّ ثُمَّ طُبِعَ بِطَابَعٍ فَلَمْ يُكْسَرْ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ»
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa membaca surat Al-Kahfi sebagaimana diturunkannya, maka surat ini akan menjadi cahaya baginya pada hari Kiamat dari tempat tinggalnya hingga ke Mekkah. Dan barangsiapa membaca sepuluh ayat terkahir dari surat Al-Kahfi lalu Dajjal keluar (datang), maka Dajjal tidak akan membahayakannya. Dan barangsiapa berwudhu lalu ia mengucapkan;
“SUBHAANAKALLOHUMMA WABIHAMDIKA ASYHADU AN LAA ILAAHA ILLAA ANTA ASTAGHFIRUKA WA ATUUBU ILAIKA” (artinya: Maha Suci Engkau ya Allah, dan dengan memuji-Mu, aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq diibadahi selain Engkau, aku memohon ampunan dan aku bertaubat kepada-Mu), maka ia akan ditulis pada lembaran putih yang bersih, kemudian dicetak dengan alat cetak yang tidak akan robek sampai hari Kiamat.”
(Diriwayatkan oleh An-Nasa’i di dalam ‘Amal Al-Yaumi wa Al-Lailati no.81 dan 952, Ath-Thobroni di dalam Al-Mu’jam Al-Ausath II/123 no.1455, dan Al-Hakim I/752 no.2072 dan beliau berkata; hadits ini Shohih sesuai dengan syarat imam Muslim, akan tetapi keduanya (maksudnya imam Bukhori dan Muslim) tidak mengeluarkannya (di dalam kitab Shohih keduanya, pent)).
DERAJAT HADITS:
Hadits ini derajatnya SHOHIH.
Syaikh Al-Albani berkata: “Hadits ini shohih.” (lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah VI/312 no.2651).
Demikianlah beberapa hadits shohih tentang keutamaan dan keagungan surat Al-Kahfi.
Mudah-mudahan kita semua diberi kemudahan oleh Allah untuk dapat mengamalkannya dengan ikhlas dan sesuai tuntunan Nabi shallallahu alaihi wasallam.

Hadits-hadits tentang Keutamaan Surah Yasin, Satupun Tidak Ada yang Shahih

 






MUQADDIMAH

Kebanyakan kaum muslimin membiasakan membaca surat Yasin, baik pada malam Jum’at, ketika mengawali atau menutup majlis ta’lim, ketika ada atau setelah kematian dan pada acara-acara lain yang mereka anggap penting. Saking seringnya surat Yasin dijadikan bacaan di berbagai pertemuan dan kesempatan, sehingga mengesankan, Al-Qur’an itu hanyalah berisi surat Yasin saja. Dan kebanyakan orang membacanya memang karena tergiur oleh fadhilah atau keutamaan surat Yasin dari hadits-hadits yang banyak mereka dengar, atau menurut keterangan dari guru mereka.


Al-Qur’an yang di wahyukan Allah adalah terdiri dari 30 juz. Semua surat dari Al-Fatihah sampai An-Nas, jelas memiliki keutamaan yang setiap umat Islam wajib mengamalkannya. Oleh karena itu sangat dianjurkan agar umat Islam senantiasa membaca Al-Qur’an. Dan kalau sanggup hendaknya menghatamkan Al-Qur’an setiap pekan sekali, atau sepuluh hari sekali, atau dua puluh hari sekali atau khatam setiap bulan sekali. (Hadist Riwayat Bukhari, Muslim dan lainnya).

Sebelum melanjutkan pembahasan, yang perlu dicamkan dan diingat dari tulisan ini, adalah dengan membahas masalah ini bukan berarti penulis melarang atau mengharamkan membaca surat Yasin.

Sebagaimana surat-surat Al-Qur’an yang lain, surat Yasin juga harus kita baca. Akan tetapi di sini penulis hanya ingin menjelaskan kesalahan mereka yang menyandarkan tentang fadhilah dan keutamaan surat Yasin kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Selain itu, untuk menegaskan bahwa tidak ada tauladan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat Yasin setiap malam Jum’at, setiap memulai atau menutup majlis ilmu, ketika dan setelah kematian dan lain-lain.

Mudah-mudahan keterangan berikut ini tidak membuat patah semangat, tetapi malah memotivasi untuk membaca dan menghafalkan seluruh isi Al-Qur’an serta mengamalkannya.

KELEMAHAN HADITS-HADITS TENTANG FADHILAH SURAT YASIN

Kebanyakan umat Islam membaca surat Yasin karena -sebagaimana dikemukakan di atas- fadhilah dan ganjaran yang disediakan bagi orang yang membacanya. Tetapi, setelah penulis melakukan kajian dan penelitian tentang hadits-hadits yang menerangkan fadhilah surat Yasin, penulis dapati Semuanya Adalah Lemah.

Perlu ditegaskan di sini, jika telah tegak hujjah dan dalil maka kita tidak boleh berdusta atas nama Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebab ancamannya adalah Neraka. (Hadits Riwayat Bukhari, Muslim, Ahmad dan lainnya).

HADITS DHA’IF DAN MAUDHU’

Adapun hadits-hadits yang semuanya dha’if (lemah) dan atau maudhu’ (palsu) yang dijadikan dasar tentang fadhilah surat Yasin diantaranya adalah sebagai berikut :

Hadist 1

Artinya: “Siapa yang membaca surat Yasin dalam suatu malam, maka ketika ia bangun pagi hari diampuni dosanya dan siapa yang membaca surat Ad-Dukhan pada malam Jum’at maka ketika ia bangun pagi hari diampuni dosanya.” (Ibnul Jauzi, Al-Maudhu’at, 1/247).
Keterangan: Hadits ini Palsu.
Ibnul Jauzi mengatakan, hadits ini dari semua jalannya adalah batil, tidak ada asalnya. Imam Daruquthni berkata: Muhammad bin Zakaria yang ada dalam sanad hadits ini adalah tukang memalsukan hadits. (Periksa: Al-Maudhu’at, Ibnul Jauzi, I/246-247, Mizanul I’tidal III/549, Lisanul Mizan V/168, Al-Fawaidul Majmua’ah hal. 268 No. 944).

Hadits 2

Artinya: “Siapa yang membaca surat Yasin pada malam hari karena mencari keridhaan Allah, niscaya Allah mengampuni dosanya.”
Keterangan: Hadits ini Lemah.
Diriwayatkan oleh Thabrani dalam kitabnya Mu’jamul Ausath dan As-Shaghir dari Abu Hurairah, tetapi dalam sanadnya ada rawi Aghlab bin Tamim. Kata Imam Bukhari, ia munkarul hadits. Kata Ibnu Ma’in, ia tidak ada apa-apanya (tidak kuat). (Periksa: Mizanul I’tidal I:273-274 dan Lisanul Mizan I : 464-465).

Hadits 3

Artinya: “Siapa yang terus menerus membaca surat Yasin pada setiap malam, kemudian ia mati maka ia mati syahid.”
Keterangan: Hadits ini Palsu.
Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani dalam Mu’jam Shaghir dari Anas, tetapi dalam sanadnya ada Sa’id bin Musa Al-Azdy, ia seorang pendusta dan dituduh oleh Ibnu Hibban sering memalsukan hadits. (Periksa: Tuhfatudz Dzakirin, hal. 340, Mizanul I’tidal II : 159-160, Lisanul Mizan III : 44-45).

Hadits 4

Artinya: “Siapa yang membaca surat Yasin pada permulaan siang (pagi hari) maka akan diluluskan semua hajatnya.”
Keterangan: Hadits ini Lemah.
Ia diriwayatkan oleh Ad-Darimi dari jalur Al-Walid bin Syuja’. Atha’ bin Abi Rabah, pembawa hadits ini tidak pernah bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab ia lahir sekitar tahun 24H dan wafat tahun 114H.

(Periksa: Sunan Ad-Darimi 2:457, Misykatul Mashabih, takhrij No. 2177, Mizanul I’tidal III:70 dan Taqribut Tahdzib II:22).

Hadits 5

Artinya: “Siapa yang membaca surat Yasin satu kali, seolah-olah ia membaca Al-Qur’an dua kali.” (Hadits Riwayat Baihaqi dalam Syu’abul Iman).
Keterangan: Hadits ini Palsu.
(Lihat Dha’if Jamiush Shaghir, No. 5801 oleh Syaikh Al-Albani).

Hadits 6

Artinya: “Siapa yang membaca surat Yasin satu kali, seolah-olah ia membaca Al-Qur’an sepuluh kali.” (Hadits Riwayat Baihaqi dalam Syu’abul Iman).
Keterangan: Hadits ini Palsu.
(Lihat Dha’if Jami’ush Shagir, No. 5798 oleh Syaikh Al-Albani).

Hadits 7

Artinya: “Sesungguhnya tiap-tiap sesuatu mempunyai hati dan hati (inti) Al-Qur’an itu ialah surat Yasin. Siapa yang membacanya maka Allah akan memberikan pahala bagi bacaannya itu seperti pahala membaca Al-Qur’an sepuluh kali.”
Keterangan: Hadits ini Palsu
Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (No. 304 8) dan Ad-Darimi 2:456. Di dalamnya terdapat Muqatil bin Sulaiman. Ayah Ibnu Abi Hatim berkata: Aku mendapati hadits ini di awal kitab yang di susun oleh Muqatil bin Sulaiman. Dan ini adalah hadits batil, tidak ada asalnya. (Periksa: Silsilah Hadits Dha’if no. 169, hal. 202-203). Imam Waqi’ berkata: Ia adalah tukang dusta. Kata Imam Nasa’i: Muqatil bin Sulaiman sering dusta.

(Periksa: Mizanul I’tidal IV:173).

Hadits 8

Artinya: “Siapa yang membaca surat Yasin di pagi hari maka akan dimudahkan (untuknya) urusan hari itu sampai sore. Dan siapa yang membacanya di awal malam (sore hari) maka akan dimudahkan urusannya malam itu sampai pagi.”
Keterangan: Hadits ini Lemah.
Hadits ini diriwayatkan Ad-Darimi 2:457 dari jalur Amr bin Zararah. Dalam sanad hadits ini terdapat Syahr bin Hausyab. Kata Ibnu Hajar: Ia banyak memursalkan hadits dan banyak keliru. (Periksa: Taqrib I:355, Mizanul I’tidal II:283).

Hadits 9

Artinya: “Bacakanlah surat Yasin kepada orang yang akan mati di antara kamu.”
Keterangan: Hadits ini Lemah.
Diantara yang meriwayatkan hadits ini adalah Ibnu Abi Syaibah (4:74 cet. India), Abu Daud No. 3121. Hadits ini lemah karena Abu Utsman, di antara perawi hadits ini adalah seorang yang majhul (tidak diketahui), demikian pula dengan ayahnya. Hadits ini juga mudtharib (goncang sanadnya/tidak jelas).

Hadits 10

Artinya: “Tidak seorang pun akan mati, lalu dibacakan Yasin di sisinya (maksudnya sedang naza’) melainkan Allah akan memudahkan (kematian itu) atasnya.”
Keterangan: Hadits ini Palsu.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam kitab Akhbaru Ashbahan I :188. Dalam sanad hadits ini terdapat Marwan bin Salim Al Jazari. Imam Ahmad dan Nasa’i berkata, ia tidak bisa dipercaya. Imam Bukhari, Muslim dan Abu Hatim berkata, ia munkarul hadits. Kata Abu ‘Arubah Al Harrani, ia sering memalsukan hadits. (Periksa: Mizanul I’tidal IV : 90-91).

PENJELASAN

Abdullah bin Mubarak berkata: Aku berat sangka bahwa orang-orang zindiq (yang pura-pura Islam) itulah yang telah membuat riwayat-riwayat itu (hadits-hadits tentang fadhilah surat-surat tertentu). Dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata: Semua hadits yang mengatakan, barangsiapa membaca surat ini akan diberikan ganjaran begini dan begitu SEMUA HADITS TENTANG ITU ADALAH PALSU. Sesungguhnya orang-orang yang memalsukan hadits-hadits itu telah mengakuinya sendiri. Mereka berkata, tujuan kami membuat hadits-hadits palsu adalah agar manusia sibuk dengan (membaca surat-surat tertentu dari Al-Qur’an) dan menjauhkan mereka dari isi Al-Qur’an yang lain, juga kitab-kitab selain Al-Qur’an. (Periksa: Al-Manarul Munffish Shahih Wadh-Dha’if, hal. 113-115).

KESIMPULAN

Dengan demikian jelaslah bahwa hadit-hadits tentang fadhilah dan keutamaan surat Yasin, semuanya LEMAH dan PALSU. Oleh karena itu, hadits-hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujjah untuk menyatakan keutamaan surat ini dan surat-surat yang lain, dan tidak bisa pula untuk menetapkan ganjaran atau penghapusan dosa bagi mereka yang membaca surat ini. Memang ada hadits-hadits shahih tentang keutamaan surat Al-Qur’an selain surat Yasin, tetapi tidak menyebut soal pahala. Wallahu A’lam.

********************

Penyusun: Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Kemarahan Ibu terhadap Syeikh Abdurrahman AsSudais

 


Syeikh Abdurrahman AsSudaisSIAPA yang tidak mengenal Syeikh Abdurrahman AsSudais? Imam Masjidil Haram, sekaligus hafidz yang memiliki suara yang sangat menyentuh para ma’mum dan pendengarnya.

Tetapi ternyata di balik kesuksesannya, beliau memiliki kisah unik di masa kecilnya.
Ketika itu orang tua Syeikh Sudais akan kedatangan tamu kehormatan, sehingga ibunda Syeikh Sudais menyiapkan hidangan termasuk memasak kambing untuk menyambut tamu tersebut.

Ketika hidangan sudah siap saji, masuklah Sudais kecil setelah bermain ke dalam rumahnya. dan alangkah kagetnya sang IBU melihat apa yang Sudais kecil lakukan terhadap hidangan yang sudah ia siapkan.
Sudais kecil menaburkan pasir ke dalam hidangan kambing yang disiapkan ibunya.

Kaget bercampur kesal akhirnya ibunda beliau memarahinya,  “Sudais, dasak kamu anak nakal! Awas kamu kalau sudah besar kamu akan menjadi IMAM MASJIDIL HARAM!”

Kemarahan ibunda Sudais inilah yang menjadi do’a luar biasa untuknya.
Sudais dewasa tumbuh menjadi seorang Imam Besar Masjidil Haram, sesuai dengan apa yang diucapkan oleh ibunya. [dedih mulyadi/islampos]

Sumber : http://islampos.com/kemarahan-ibu-terhadap-syeikh-abdurrahman-assudais-67785/  

Menjadi Pribadi Bermanfaat

Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain (HR. Ahmad, Thabrani, Daruqutni). 

 “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara yaitu: Amal jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631).

Jumat, 12 Juli 2013

HADITS PALSU TENTANG KEUTAMAAN SHOLAT TARAWIH DARI MALAM PERTAMA HINGGA MALAM KETIGA PULUH



20130712-055416.jpg
Oleh: Muhammad Wasitho Abu Fawaz

Di bulan suci Romadhon terdapat suatu amalan ibadah yang sangat dianjurkan untuk dilaksanakan pada malam hari, yaitu sholat Tarawih. Dan sholat Tarawih ini memiliki keutamaan yang besar bagi setiap Muslim Dan muslimah yang mengerjakannya dengan Niat ikhlas karena Allah Dan mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Diantara keutamaan sholat Tarawih berdasarkan hadits-hadits SHOHIH ialah:
1. Barangsiapa mengerjakan sholat Tarawih karena keimanannya kpd Allah Dan berharap pahala darinya, maka dosa-dosanya yg telah lalu Akan diampuni Oleh Allah.
2. Barangsiapa mengerjakan sholat Tarawih berjama’ah hingga selesai maka dicatat baginya pahala seperti orang yg Beribadah semalam penuh.
Akan tetapi, belakangan ini banyak sekali beredar broadcast, atau SMS, atau artikel2 Dan ceramah2 yg menjelaskan tentang keutamaan sholat Tarawih Dari malam Pertama hingga malam terakhir Dari bulan Romadhon. Benarkah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menerangkan keutamaan tsb? Dan bagaimanakah padangan para ulama terhadap derajat hadits tsb? Serta bolehkah kita beramal ibadah berdasarkan hadits tsb?
TEKS HADITS:
حديث: علي أبي طالب رضي الله عنه أنه قال: سئل النبي عليه الصلاة والسلام عن فضائل التراويح في شهر رمضان فقال:
يخرج المؤمن من ذنبه في أول ليلة كيوم ولدته أمه,
في الليلة الثانية: يغفر له ولأبويه وإن كانا مؤمنين,
في الليلة الثالثة: ينادي ملك من تحت العرش: استأتني العمل غفر الله ما تقدم من ذنبك,
في الليلة الرابعة: له من الأجر قراءة التوراة والإنجيل والفرقان,
في الليلة الخامسة: أعطاه الله تعالى مثل من صلى في المسجد الحرام, ومسجد المدينة, ومسجد الأقصى,
في الليلة السادسة: أعطاه الله تعالى ثواب من طاف في البيت المعمور, ويستغفر له كل حجر,
في الليلة السابعة: فكأنما أدرك موسى عليه السلام ونصره على فرعون وهامان,
في الليلة الثامنة: أعطاه الله تعالى ما أعطى إبراهيم عليه السلام,
في الليلة التاسعة: فكأنما عبد الله تعالى عبادة النبي عليه السلام,
في الليلة العاشرة: رزقه الله تعالى خير الدنيا والآخرة,
في الليلة الحادية عشر: يخرج من الدنيا كيوم ولد من بطن أمه,
في الليلة الثانية عشر: جاء يوم القيامة ووجهه كالقمر ليلة البدر,
في الليلة الثالثة عشر: جاء يوم القيامة آمنا من كل سوء,
في الليلة الرابعة عشر: جاءت الملائكة ليشهدون له أنه قد صلى التراويح, فلا يحاسبه الله يوم القيامة,
وفي الليلة الخامسة عشر: تصلي عليه الملائكة, وحملة العرش والكرسي,
وفي الليلة السادسة عشر: كتب له الله براءة النجاة من النار, والدخول في الجنة,
وفي الليلة السابعة عشر: يعطي مثل ثواب الأنبياء,
وفي الليلة الثامنة عشر: ينادي ملك يا عبد الله إن الله رضي عنك وعن والديك,
وفي الليلة التاسعة عشر: يرفع الله درجاته,
وفي الليلة العشرين: يعطى ثواب الشهداء والصالحين,
وفي الليلة الحادية والعشرين: يبنى له بيتاً في الجنة من النور,
وفي الليلة الثانية والعشرين: جاء يوم القيامة آمناً من كل غم و هم,
وفي الليلة الثالثة والعشرين: بنى الله له مدينة في الجنة,
وفي الليلة الرابعة والعشرين: قال: له أربع وعشرون دعوة مستجابة,
وفي الليلة الخامسة والعشرين: يرفع الله له عذاب القبر,
وفي الليلة السادسة والعشرين: يرفع الله له ثواب أربعين عاماً,
وفي الليلة السابعة والعشرين: جاء يوم القيامة على الصراط المستقيم كالبرق الخاطف,
وفي الليلة الثامنة والعشرين: يرفع الله له ألف درجة في الجنة,
وفي الليلة التاسعة والعشرين: أعطاه الله ثوابه ألف حجة مقبولة,
وفي الليلة الثلاثين: يقول الله: يا عبدي كُل من ثمار الجنة, واغسل من ماء السلسبيل, واشرب من ماء الكوثر, أنا ربك وأنت عبدي.
TERJEMAH HADITS:
Diriwayatkan dari Ali Bin Abi Thalib radhiyallahu anhu, bahwa ia berkata: Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam pernah ditanya tentang keutamaan Shalat Tarawih di Bulan Ramadhan, maka Beliau bersabda:
1. MALAM PERTAMA:
SEORANG MUKMIN AKAN DIKELUARKAN DARI DOSANYA SEPERTI IA DILAHIRKAN DARI PERUT IBUNYA
2. MALAM KEDUA:
DIAMPUNKAN BAGINYA DAN BAGI KEDUA IBU BAPAKNYA JIKA KEDUNYA ITU BERIMAN.
3. MALAM KETIGA:
BERSERULAH SEORANG MALAIKAT DARI BAWAH ARASY: MULAILAH OLEHMU DENGAN BERAMAL, ALLAH Subhanahu wa Ta’ala TELAH MENGAMPUNKAN DOSA-DOSAMU YANG TELAH LALU.
4. MALAM KEEMPAT:
DIA MEMPEROLEH PAHALA SEPERTI PAHALA MEMBACA TAURAT, INJIL, DAN AL-FURQAAN.
5. MALAM KELIMA:
ALLAH BERIKAN KEPADANYA PAHALA SEPERTI PAHALA ORANG YANG SHOLAT DI MASJIDIL HARAM, MASJID NABAWI DI MADINAH, DAN MASJIDIL AQSHA.
6. MALAM KEENAM:
ALLAH BERIKAN KEPADANYA PAHALA ORANG YANG THAWAF PADA ALBAITUL MAMUR DAN MEMOHONKAN AMPUNNAN BAGINYA OLEH SEGALA BATU DAN LUMPUR.
7. MALAM KETUJUH:
MAKA SEOLAH-OLAH DIA MENGALAMI ZAMAN NABI MUSA AlaihisSalam DAN MENOLONGNYA DALAM MELAWAN FIR’AUN DAN HAAMAAN.
8. MALAM KEDELAPAN:
ALLAH BERIKAN KEPADANYA APA-APA YANG DIBERIKAN KEPADA NABI IBRAHIM AlaihisSalam.
9. MALAM KESEMBILAN:
MAKA SEOLAH-OLAH IA MENYEMBAH ALLAH SUbhanahu Wata’ala SEPERTI IBADAHNYA NABI Shallallahu alaihi wasallam.
10. MALAM KESEPULUH:
ALLAH BERIKAN REZEKI KEPADANYA BERUPA KEBAIKAN DUNIA DAN AKHIRAT.
11. MALAM KESEBELAS:
IA KELUAR DARI DUNIA SEPERTI PADA SAAT IA DILAHIRKAN OLEH IBUNYA.
12. MALAM KEDUABELAS:
IA DATANG PADA HARI KIAMAT DENGAN WAJAH LAKSANA BULAN DI MALAM KEEMPAT BELAS (malam purnama).
13. MALAM KETIGA BELAS:
IA DATANG PADA HARI KIAMAT DALAM KEADAAN AMAN DARI SEGALA KEJAHATAN.
14. MALAM KEEMPAT BELAS:
PARA MALAIKAT DATANG UNTUK MENYAKSIKAN BAHWA DIA TELAH MELAKUKAN SHOLAT TARAWIH.
15. MALAM KELIMA BELAS:
PARA MALAIKAT DAN PARA MALAIKUT PEMIKUL ARASY DAN KURSI ALLAH MEMINTAKAN AMPUNAN UNTUKNYA.
16. MALAM KEENAM BELAS:
ALLAH MENULISKAN BAGINYA KESELAMATAN DARI SIKSA NERAKA DAN KEBEBASAN UNTUK MASUK KE DALAM SURGA.
17. MALAM KETUJUH BELAS:
IA DIBERI PAHALA SEPERTI PAHALA PARA NABI.
18. MALAM KEDELAPAN BELAS:
ADA SEORANG MALAIKAT YAN BERSERU: WAHAI HAMBA ALLAH, SESUNGGUHNYA ALLAH TELAH RIDHO KEPADAMU DAN KEDUA IBU-BAPAKMU.
19. MALAM KESEMBILAN BELAS:
ALLAH AKAN MENINGGIKAN DERAJATNYA DI DALAM SURGA FIRDAUS.
20. MALAM KEDUA PULUH:
IA DIBERI PAHALA PAHALA ORANG-ORANG YANG MATI SYAHID DAN ORANG-ORANG SALEH.
21. MALAM KEDUAPULUH SATU:
ALLAH BUATKAN UNTUKNYA SEBUAH RUMAH YANG TERBUAT DARI CAHAYA DI DALAM SURGA.
22. MALAM KEDUAPULUH DUA:
IA DATANG PADA HARI KIAMAT DALAM KEADAAN AMAN DARI SETIAP KESEDIHAN DAN KESUSAHAN.
23. MALAM KEDUA PULUH TIGA:
ALLAH BUATKAN UNTUKNYA SEBUAH KOTA DI DALAM SURGA.
24. MALAM KEDUA PULUH EMPAT:
IA MENDAPATKAN 24 MACAM DOA YANG MUSTAJAB.
25. MALAM KEDUAPULUH LIMA:
ALLAH MENGHAPUSKAN DARINYA SIKSA KUBUR.
26. MALAM KEDUAPULUH ENAM:
ALLAH MENINGGIKAN BAGINYA PAHALA SELAMA 40 TAHUN
27. MALAM KEDUAPULUH TUJUH:
IA AKAN DIMUDAHKAN ALLAH DALAM MENYEBERANGI JEMBATAN SHIROTAL MUSTAQIM SECEPAT KILAT MENYAMBAR.
28. MALAM KEDUAPULUH DELAPAN:
ALLAH MENINGGIKAN BAGINYA SERIBU DERAJAT DI DALAM SURGA.
29. MALAM KEDUAPULUH SEMBILAN:
ALLAH BERIKAN KEPADANYA PAHALA SERIBU HAJI YANG DITERIMA.
30. MALAM KETIGA PULUH:
ALLAH SUBHANAHU WATA’ALA BERFIRMAN: WAHAI HAMBAKU, MAKANLAH OLEHMU DARIPADA BUAH-BUAHAN SURGA DAN MANDILAH DARI AIR SALSABIL DAN MINUMLAH DARI AIR ALKAUTSAR. AKU LAH TUHANMU DAN ENGKAU ADALAH HAMBAKU.
(Hadits ini disebutkan oleh Syaikh Utsman bin Hasan bin Ahmad al-Khubari dalam kitab Durrotun Nashihiin Fil Wa’zhi wal Irsyaad, hal. 16 – 17).
DERAJAT HADITS:
Bismillah. Saudara Dan saudariku yg semoga dirahmati Allah, hadits tersebut di atas yang menerangkan tentang keutamaan sholat Tarawih Dari Malam pertama hingga malam terakhir derajatnya maudhu’ (PALSU), karena Tidak Ada asal usulnya (yakni Tidak jelas sumbernya), Dan Tidak mempunyai sanad yg dpt menghubungkan hadits tsb kpd Rasulullah shallallahu alaihi wasallam secara valid Dan akurat.
Syaikh Abdurrahman As-Suhaim hafizhohullah ketika ditanya tentang derajat hadits tsb, Beliau katakana: “Tanda-tanda kepalsuan hadits tsb nampak jelas. Susunan kalimatnya kaku (tidak fasih). Dan yg demikian ini sangat Tidak mungkin diucapkan Oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam.”
Komite tetap untuk urusan Fatwa Dan Riset Ilmiyyah Saudi Arabia yg diketuai Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menyatakan bahwa hadits tsb Tidak Ada asal-usulnya. Dan ini termasuk Dlm golongan hadits2 PALSU Yg DIDUSTAKAN atas Nama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. (Lihat : Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuuts Al-Ilmiyyah Wal Ifta no. 8050, juz IV, hal 476-480. Atau KLIK Link Berikut ini: http://www.alifta.net/Fatawa/FatawaDetails.aspx?lang=ar&IndexItemID=76&SecItemHitID=80&ind=3&Type=Index&View=Page&PageID=1348&PageNo=1&BookID=3&Title=DisplayIndexAlpha.aspx).
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah berkata tentang kitab Durrotu An-Naashihiin Fil Wa’zhi wal Irsyaad: “Kitab ini Tidak dapat dijadikan sandaran (dalam ilmu dan amal, pent), karena ia mengandung Hadits-Hadits Dho’if (lemah) dan Maudhu’ (Palsu).” (Lihat: http://www.binbaz.org.sa/mat/3492).
Demikian penjelasan singkat tentang derajat hadits keutamaan sholat tarawih dari malam pertama hingga malam terakhir dari bulan Romadhon yg banyak beredar di berbagai media cetak dan elektronik maupun melalui ceramah-ceramah, apalagi di bulan SUCI ROMADHON yg penuh berkah ini.
Hendaknya setiap Muslim Dan muslimah merasa cukup dengan ayat-ayat Al-Quran Dan hadits-hadits SHOHIH sebagai landasan dasar Dlm Beribadah kpd Allah Ta’ala.
Semoga Allah Ta’ala melindungi kita semua dari beramal ibadah kepada-Nya berdasarkan hadits-hadits lemah dan palsu, Dan melindungi kita dari bahaya berdusta atas nama Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Wallahu a’lam bish-Showab. Wabillahi at-Taufiq. (Klaten, 12 Juli 2013).
(*) Artikel BB GROUP MAJLIS HADITS, room HADITS DHO’IF DAN PALSU. PIN: 296A5B45 , 2987565B.
(*) Blog Dakwah Kami:
Http://abufawaz.wordpress.com

HADITS PALSU TENTANG SEPULUH SURAT AL-QUR’AN DAPAT MENCEGAH SEPULUH KEBURUKAN / الحديث الموضوع في “عشرة تمنع عشرة”

HADITS PALSU TENTANG SEPULUH SURAT AL-QUR’AN DAPAT MENCEGAH SEPULUH KEBURUKAN / الحديث الموضوع في “عشرة تمنع عشرة”

HADITS PALSU 10 SURAT MENCEGAH 10 KEBURUKANAkhir-akhir ini banyak sekali beredar di internet, BBM, SMS atau media
lainnya hadits-hadits bathil dan palsu yang tidak jelas asal-usul dan
sumbernya. Sehingga kita sebagai penuntut ilmu yang menginginkan
beribadah kepada Allah berdasarkan landasan hukum yang jelas dari
Al-Qur’an dan hadits-hadits yang shohih, merasa kesulitan dan tidak
akan pernah mendapatkannya ketika mencari dan menelitinya di dalam
kitab-kitab hadits shohih, dho’if, maupun palsu yang disusun oleh para
ahli hadits dari ulama-ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Ini menunjukkan
bahwa pemalsuan hadits dan berdusta atas nama Nabi shallallahu alaihi
wasallam masih terus terjadi dan jumlahnya sangat banyak, tiada
terbatas. Karena siapapun bisa membuat hadits palsu yang dinisbatkan
kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, khususnya dalam masalah
Fadhilah Amal (amalan-amalan yang memiliki keutaaan dan pahala yang
besar).
Diantara tanda-tanda kepalsuan hadits-hadits tersebut sangat jelas,
selain tidak ada sanad dan sumbernya, biasanya di bagian terakhir
setelah selesai menyebutkan hadits palsu yang didustakan atas nama
Nabi shallallahu alaihi wasallam tersebut disebutkan kalimat
‘kirimkanlah atau sebarkanlah ke semua orang yang ada di dalam daftar
kontakmu, niscaya anda akan memperoleh pahala, atau dalam waktu sekian
jam atau hari anda akan mendapatkan kabar gembira, atau anda akan
terbebas dari segala problem’, dan kalimat-kalimat yang semisal itu.
Diantara hadits palsu yang beredar di internet, BBM dan SMS adalah
hadits berikut:
قال الرسول صلى الله عليه وسلم : عشرة تمنع عشرة :
سورة الفاتحة … تمنع غضب الله
سورة يس … تمنع عطش يوم القيامة
سورة الدخان … تمنع أهوال يوم القيامة
سورة الواقعة … تمنع الفقر
سورة الملك … تمنع عذاب القبر
سورة الكوثر … تمنع الخصومة
سورة الكافرون … تمنع الكفر عند الموت
سورة الاخلاص … تمنع النفاق
سورة الفلق … تمنع الحسد
سورة الناس … تمنع الوسواس
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Ada sepuluh perkara
yang mencegah sepulh perkara lainnya, (yaitu):
1. Surat Al Fatihah => mencegah kemarahan Alloh subhanahu wa ta’ala
2. Surat Yasin => mencegah kehausan dihari kiamat
3. Surat Ad Dukhon => mencegah kesusahan dihari kiamat
4. Al Waqi’ah => mencegah kefakiran
5. Al Mulk => mencegah siksa kubur
6. Al Kautsar => mencegah permusuhan
7. Al Kafirun => mencegah kekufuran pada saat dicabut nyawa
8. Al Ikhlas => mencegah kemunafiqan
9. Al Falaq => mencegah iri hati
10. An Nas => mencegah rasa was was
DERAJAT HADITS:
Hadits ini derajatnya MAUDHU’ (PALSU). Termasuk hadits yang didustakan
atas nama Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, karena tidak
mempunyai sanad, tidak jelas asal-usul dan sumbernya. Kita tidak akan
menemukan hadits ini dengan susunan kalimat seperti itu di dalam
kitab-kitab hadits yang disusun oleh para ulama hadits dari kalangan
Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Baik itu kitab yang memuat hadits-hadits
shohih, dho’if maupun palsu.
Memang sebagian surat Al-Qur’an yang disebutkan di dalam hadits ini
memiliki keutamaan berdasarkan hadits-hadits yang shohih, seperti
surat Al-Fatihah, Al-Mulk, Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Naas. Sedangkan
hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan surat Yasin secara khusus
tidak ada yang shohih satu pun dari nabi shallallahu alaihi wasallam.
Dan hadits tentang keutamaan surat Al-Waqi’ah yang menunjukkan bahwa
ia dapat mencegah kefakiran bagi yang membacanya juga derajatnya tidak
shohih. Demikian pula hadits tentang keutamaan surat Ad-Dkhon, dan
surat Al-Kautsar tidak ada satu hadits pun yang shohih yang
menjelaskan tentang keutamaannya secara khusus. Bahkan sangat banyak
hadits-hadits yang dipalsukan oleh para pemalsu hadits dan disandarkan
kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam berkaitan dengan
keutamaan-keutamaan surat-surat Al-Quran. Masing-masing surat
mempunyai hadits palsu yang menerangkan keutamaannya secara khusus.
Setelah menyebutkan hadits-hadits yang shohih berkaitan dengan
keutamaan surat-surat Al-Qur’an, Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah mengatakan;
“Kemudian hadits-hadits selain itu, seperti hadits dengan lafazh,
“Barangsiapa membaca surat ini maka ia diberi pahala demikian (dan
semisalnya, pent), maka hadits-hadits tersebut dipalsukan atas nama
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.” (Lihat Al-Manar Al-Munif,
hal. 225-228).
Demikianlah salah satu HADITSPALSU yang telah beredar di internet,
BBM, SMS atau media lainnya yang dapat saya sebutkan untuk kali ini.
semoga kita semua semakin berhati-hati dalam mengamalkan hadits-hadits
Nabi, mengajarkan dan menyebarluaskannya kepada orang lain. Dan
hendaknya kita semua semakin bertambah semangat dalam mempelajari dan
memegang teguh hadits-hadits Nabi yang shohih. wabillahi at-taufiq. wa
Al-Hamdulillah alladzi bi ni’matihi tatimmu ash-sholihaat. (Klaten, 16
Maret 2012, PIN: 285734BB).

12 Hadits Lemah dan Palsu Seputar Ramadhan


Islam adlah agama yang ilmiah. Setiap amalan, keyakinan, atau ajaran yang disandarkan kepada Islam harus memiliki dasar dari Al Qur’an dan Hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang otentik. Dengan ini, Islam tidak memberi celah kepada orang-orang yang beritikad buruk untuk menyusupkan pemikiran-pemikiran atau ajaran lain ke dalam ajaran Islam.
Karena pentingnya hal ini, tidak heran apabila Abdullah bin Mubarak rahimahullah mengatakan perkataan yang terkenal:
الإسناد من الدين، ولولا الإسناد؛ لقال من شاء ما شاء
“Sanad adalah bagian dari agama. Jika tidak ada sanad, maka orang akan berkata semaunya.” (Lihat dalam Muqaddimah Shahih Muslim, Juz I, halaman 12)
Dengan adanya sanad, suatu perkataan tentang ajaran Islam dapat ditelusuri asal-muasalnya.
Oleh karena itu, penting sekali bagi umat muslim untuk memilah hadits-hadits, antara yang shahih dan yang dhaif, agar diketahui amalan mana yang seharusnya diamalkan karena memang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam serta amalan mana yang tidak perlu dihiraukan karena tidak pernah diajarkan oleh beliau.
Berkaitan dengan bulan Ramadhan yang penuh berkah ini, akan kami sampaikan beberapa hadits lemah dan palsu mengenai puasa yang banyak tersebar di masyarakat. Untuk memudahkan pembaca, kami tidak menjelaskan sisi kelemahan hadits, namun hanya akan menyebutkan kesimpulan para pakar hadits yang menelitinya. Pembaca yang ingin menelusuri sisi kelemahan hadits, dapat merujuk pada kitab para ulama yang bersangkutan.
Hadits 1
صوموا تصحوا
“Berpuasalah, kalian akan sehat.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di Ath Thibbun Nabawi sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz Al Iraqi di Takhrijul Ihya (3/108), oleh Ath Thabrani di Al Ausath (2/225), oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (3/227).
Hadits ini dhaif (lemah), sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz Al Iraqi di Takhrijul Ihya (3/108), juga Al Albani di Silsilah Adh Dha’ifah (253). Bahkan Ash Shaghani agak berlebihan mengatakan hadits ini maudhu (palsu) dalam Maudhu’at Ash Shaghani (51).
Keterangan: jika memang terdapat penelitian ilmiah dari para ahli medis bahwa puasa itu dapat menyehatkan tubuh, makna dari hadits dhaif ini benar, namun tetap tidak boleh dianggap sebagai sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.
Hadits 2
نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ ، وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ ، وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ ، وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ
“Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, do’anya dikabulkan, dan amalannya pun akan dilipatgandakan pahalanya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi di Syu’abul Iman (3/1437).
Hadits ini dhaif, sebagaimana dikatakan Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (1/310). Al Albani juga mendhaifkan hadits ini dalam Silsilah Adh Dha’ifah (4696).
Terdapat juga riwayat yang lain:
الصائم في عبادة و إن كان راقدا على فراشه
“Orang yang berpuasa itu senantiasa dalam ibadah meskipun sedang tidur di atas ranjangnya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Tammam (18/172). Hadits ini juga dhaif, sebagaimana dikatakan oleh Al Albani di Silsilah Adh Dhaifah (653).
Yang benar, tidur adalah perkara mubah (boleh) dan bukan ritual ibadah. Maka, sebagaimana perkara mubah yang lain, tidur dapat bernilai ibadah jika diniatkan sebagai sarana penunjang ibadah. Misalnya, seseorang tidur karena khawatir tergoda untuk berbuka sebelum waktunya, atau tidur untuk mengistirahatkan tubuh agar kuat dalam beribadah.
Sebaliknya, tidak setiap tidur orang berpuasa itu bernilai ibadah. Sebagai contoh, tidur karena malas, atau tidur karena kekenyangan setelah sahur. Keduanya, tentu tidak bernilai ibadah, bahkan bisa dinilai sebagai tidur yang tercela. Maka, hendaknya seseorang menjadikan bulan ramadhan sebagai kesempatan baik untuk memperbanyak amal kebaikan, bukan bermalas-malasan.
Hadits 3
يا أيها الناس قد أظلكم شهر عظيم ، شهر فيه ليلة خير من ألف شهر ، جعل الله صيامه فريضة ، و قيام ليله تطوعا ، و من تقرب فيه بخصلة من الخير كان كمن أدى فريضة فيما سواه ، و من أدى فريضة كان كمن أدى سبعين فريضة فيما سواه ، و هو شهر الصبر و الصبر ثوابه الجنة ، و شهر المواساة ، و شهر يزاد فيه رزق المؤمن ، و من فطر فيه صائما كان مغفرة لذنوبه ، و عتق رقبته من النار ، و كان له مثل أجره من غير أن ينتقص من أجره شيء قالوا : يا رسول الله ليس كلنا يجد ما يفطر الصائم ، قال : يعطي الله هذا الثواب من فطر صائما على مذقة لبن ، أو تمرة ، أو شربة من ماء ، و من أشبع صائما سقاه الله من الحوض شربة لايظمأ حتى يدخل الجنة ، و هو شهر أوله رحمة و وسطه مغفرة و آخره عتق من النار ،
“Wahai manusia, bulan yang agung telah mendatangi kalian. Di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari 1. 000 bulan. Allah menjadikan puasa pada siang harinya sebagai sebuah kewajiban, dan menghidupkan malamnya sebagai ibadah tathawwu’ (sunnah). Barangsiapa pada bulan itu mendekatkan diri (kepada Allah) dengan satu kebaikan,  ia seolah-olah mengerjakan satu ibadah wajib pada bulan yang lain. Barangsiapa mengerjakan satu perbuatan wajib, ia seolah-olah mengerjakan 70 kebaikan di bulan yang lain. Ramadhan adalah bulan kesabaran, sedangkan kesabaran itu balasannya adalah surga. Ia (juga) bulan tolong-menolong. Di dalamnya rezki seorang mukmin ditambah. Barangsiapa pada bulan Ramadhan memberikan hidangan berbuka kepada seorang yang berpuasa, dosa-dosanya akan diampuni, diselamatkan dari api neraka dan memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tadi sedikitpun” Kemudian para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, tidak semua dari kita memiliki makanan untuk diberikan kepada orang yang berpuasa.” Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkata, “Allah memberikan pahala tersebut kepada orang yang memberikan hidangan berbuka berupa sebutir kurma, atau satu teguk air atau sedikit susu. Ramadhan adalah bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya maghfirah (ampunan) dan akhirnya pembebasan dari api neraka.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1887), oleh Al Mahamili dalam Amaliyyah (293), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (6/512), Al Mundziri dalam Targhib Wat Tarhib (2/115)
Hadits ini didhaifkan oleh para pakar hadits seperti Al Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib (2/115), juga didhaifkan oleh Syaikh Ali Hasan Al Halabi di Sifatu Shaumin Nabiy (110), bahkan dikatakan oleh Abu Hatim Ar Razi dalam Al ‘Ilal (2/50) juga Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (871) bahwa hadits ini Munkar.
Yang benar, di seluruh waktu di bulan Ramadhan terdapat rahmah, seluruhnya terdapat ampunan Allah dan seluruhnya terdapat kesempatan bagi seorang mukmin untuk terbebas dari api neraka, tidak hanya sepertiganya. Salah satu dalil yang menunjukkan hal ini adalah:
من صام رمضان إيمانا واحتسابا ، غفر له ما تقدم من ذنبه
“Orang yang puasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari no.38, Muslim, no.760)
Dalam hadits ini, disebutkan bahwa ampunan Allah tidak dibatasi hanya pada pertengahan Ramadhan saja. Lebih jelas lagi pada hadits yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi, Rasulullah bersabda:
إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ، وَمَرَدَةُ الجِنِّ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ، فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ، وَفُتِّحَتْ أَبْوَابُ الجَنَّةِ، فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ، وَيُنَادِي مُنَادٍ: يَا بَاغِيَ الخَيْرِ أَقْبِلْ، وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ، وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنَ النَّارِ، وَذَلكَ كُلُّ لَيْلَةٍ
Pada awal malam bulan Ramadhan, setan-setan dan jin-jin jahat dibelenggu, pintu neraka ditutup, tidak ada satu pintu pun yang dibuka. Pintu surga dibuka, tidak ada satu pintu pun yang ditutup. Kemudian Allah menyeru: ‘wahai penggemar kebaikan, rauplah sebanyak mungkin, wahai penggemar keburukan, tahanlah dirimu’.  Allah pun memberikan pembebasan dari neraka bagi hamba-Nya. Dan itu terjadi setiap malam” (HR. Tirmidzi 682, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi)
Adapun mengenai apa yang diyakini oleh sebagian orang, bahwa setiap amalan sunnah kebaikan di bulan Ramadhan diganjar pahala sebagaimana amalan wajib, dan amalan wajib diganjar dengan 70 kali lipat pahala ibadah wajib diluar bulan Ramadhan, keyakinan ini tidaklah benar  berdasarkan hadits yang lemah ini. Walaupun keyakinan ini tidak benar, sesungguhnya Allah ta’ala melipatgandakan pahala amalan kebaikan berlipat ganda banyaknya, terutama ibadah puasa di bulan Ramadhan.
Hadits 4
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال : اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت فتقبل مني إنك أنت السميع العليم
“Biasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika berbuka membaca doa: Allahumma laka shumtu wa ‘alaa rizqika afthartu fataqabbal minni, innaka antas samii’ul ‘aliim.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya (2358), Adz Dzahabi dalam Al Muhadzab (4/1616), Ibnu Katsir dalam Irsyadul Faqih (289/1), Ibnul Mulaqqin dalam Badrul Munir (5/710)
Ibnu Hajar Al Asqalani berkata di Al Futuhat Ar Rabbaniyyah (4/341) : “Hadits ini gharib, dan sanadnya lemah sekali”. Hadits ini juga didhaifkan oleh Asy Syaukani dalam Nailul Authar (4/301), juga oleh Al Albani di Dhaif Al Jami’ (4350). Dan doa dengan lafadz yang semisal, semua berkisar antara hadits lemah dan munkar.
Sedangkan doa berbuka puasa yang tersebar dimasyarakat dengan lafadz:
اللهم لك صمت و بك امنت و على رزقك افطرت برحمتك يا ارحم الراحمين
“Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, kepada-Mu aku beriman, atas rezeki-Mu aku berbuka, aku memohon Rahmat-Mu wahai Dzat yang Maha Penyayang.”
Hadits ini tidak terdapat di kitab hadits manapun. Atau dengan kata lain, ini adalah hadits palsu. Sebagaimana dikatakan oleh Al Mulla Ali Al Qaari dalam kitab Mirqatul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih: “Adapun doa yang tersebar di masyarakat dengan tambahan ‘wabika aamantu’ sama sekali tidak ada asalnya, walau secara makna memang benar.”
Yang benar, doa berbuka puasa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam terdapat dalam hadits:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله
“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika berbuka puasa membaca doa:
ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله
/Dzahabaz zhamaa-u wabtalatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insyaa Allah/
(‘Rasa haus telah hilang, kerongkongan telah basah, semoga pahala didapatkan. Insya Allah’)”
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud (2357), Ad Daruquthni (2/401), dan dihasankan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah, 2/232 juga oleh Al Albani di Shahih Sunan Abi Daud.
Hadits 5
من أفطر يوما من رمضان من غير رخصة لم يقضه وإن صام الدهر كله
“Orang yang sengaja tidak berpuasa pada suatu hari  di bulan Ramadhan, padahal ia bukan orang yang diberi keringanan, ia tidak akan dapat mengganti puasanya meski berpuasa terus menerus.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari di Al’Ilal Al Kabir (116), oleh Abu Daud di Sunannya (2396), oleh Tirmidzi di Sunan-nya (723), Imam Ahmad di Al Mughni (4/367), Ad Daruquthni di Sunan-nya (2/441, 2/413), dan Al Baihaqi di Sunan-nya (4/228).
Hadits ini didhaifkan oleh Al Bukhari, Imam Ahmad, Ibnu Hazm di Al Muhalla (6/183), Al Baihaqi, Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid (7/173), juga oleh Al Albani di Dhaif At Tirmidzi (723), Dhaif Abi Daud (2396), Dhaif Al Jami’ (5462) dan Silsilah Adh Dha’ifah (4557). Namun, memang sebagian ulama ada yang menshahihkan hadits ini seperti Abu Hatim Ar Razi di Al Ilal (2/17), juga ada yang menghasankan seperti Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah (2/329) dan Al Haitsami di Majma’ Az Zawaid (3/171). Oleh karena itu, ulama berbeda pendapat mengenai ada-tidaknya qadha bagi orang yang sengaja tidak berpuasa.
Yang benar -wal ‘ilmu ‘indallah- adalah penjelasan Lajnah Daimah Lil Buhuts Wal Ifta (Komisi Fatwa Saudi Arabia), yang menyatakan bahwa “Seseorang yang sengaja tidak berpuasa tanpa udzur syar’i,ia harus bertaubat kepada Allah dan mengganti puasa yang telah ditinggalkannya.” (Periksa: Fatawa Lajnah Daimah no. 16480, 9/191)
Hadits 6
لا تقولوا رمضان فإن رمضان اسم من أسماء الله تعالى ولكن قولوا شهر رمضان
“Jangan menyebut dengan ‘Ramadhan’ karena ia adalah salah satu nama Allah, namun sebutlah dengan ‘Bulan Ramadhan.’”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Sunan-nya (4/201), Adz Dzaahabi dalam Mizanul I’tidal (4/247), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (8/313), Ibnu Katsir di Tafsir-nya (1/310).
Ibnul Jauzi dalam Al Maudhuat (2/545) mengatakan hadits ini palsu. Namun, yang benar adalah sebagaimana yang dikatakan oleh As Suyuthi dalam An Nukat ‘alal Maudhuat (41) bahwa “Hadits ini dhaif, bukan palsu”. Hadits ini juga didhaifkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (8/313), An Nawawi dalam Al Adzkar (475), oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Baari (4/135) dan Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (6768).
Yang benar adalah boleh mengatakan ‘Ramadhan’ saja, sebagaimana pendapat jumhur ulama karena banyak hadits yang menyebutkan ‘Ramadhan’ tanpa ‘Syahru (bulan)’.
Hadits 7
أن شهر رمضان متعلق بين السماء والأرض لا يرفع إلا بزكاة الفطر
“Bulan Ramadhan bergantung di antara langit dan bumi. Tidak ada yang dapat mengangkatnya kecuali zakat fithri.”
Hadits ini disebutkan oleh Al Mundziri di At Targhib Wat Tarhib (2/157). Al Albani mendhaifkan hadits ini dalam Dhaif At Targhib (664), dan Silsilah Ahadits Dhaifah (43).
Yang benar, jika dari hadits ini terdapat orang yang meyakini bahwa puasa Ramadhan tidak diterima jika belum membayar zakat fithri, keyakinan ini salah, karena haditsnya dhaif. Zakat fithri bukanlah syarat sah puasa Ramadhan, namun jika seseorang meninggalkannya ia mendapat dosa tersendiri.
Hadits 8
رجب شهر الله ، وشعبان شهري ، ورمضان شهر أمتي
“Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan umatku.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Adz Dzahabi di Tartibul Maudhu’at (162, 183), Ibnu Asakir di Mu’jam Asy Syuyukh (1/186).
Hadits ini didhaifkan oleh di Asy Syaukani di Nailul Authar (4/334),  dan Al Albani di Silsilah Adh Dhaifah (4400). Bahkan hadits ini dikatakan hadits palsu oleh banyak ulama seperti Adz Dzahabi di Tartibul Maudhu’at (162, 183), Ash Shaghani dalam Al Maudhu’at (72), Ibnul Qayyim dalam Al Manaarul Munif (76), Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Tabyinul Ujab (20).
Hadits 9
من فطر صائما على طعام وشراب من حلال صلت عليه الملائكة في ساعات شهر رمضان وصلى عليه جبرائيل ليلة القدر
“Barangsiapa memberi hidangan berbuka puasa dengan makanan dan minuman yang halal, para malaikat bershalawat kepadanya selama bulan Ramadhan dan Jibril bershalawat kepadanya di malam lailatul qadar.”
Hadist ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al Majruhin (1/300), Al Baihaqi di Syu’abul Iman (3/1441), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Adh Dhuafa (3/318), Al Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib (1/152)
Hadits ini didhaifkan oleh Ibnul Jauzi di Al Maudhuat (2/555), As Sakhawi dalam Maqasidul Hasanah (495), Al Albani dalam Dhaif At Targhib (654)
Yang benar,orang yang memberikan hidangan berbuka puasa akan mendapatkan pahala puasa orang yang diberi hidangan tadi, berdasarkan hadits:
من فطر صائما كان له مثل أجره ، غير أنه لا ينقص من أجر الصائم شيئا
“Siapa saja yang memberikan hidangan berbuka puasa kepada orang lain yang berpuasa, ia akan mendapatkan pahala orang tersebut tanpa sedikitpun mengurangi pahalanya.” (HR. At Tirmidzi no 807, ia berkata: “Hasan shahih”)
Hadits 10
رجعنا من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر . قالوا : وما الجهاد الأكبر ؟ قال : جهاد القلب
“Kita telah kembali dari jihad yang kecil menuju jihad yang besar.” Para sahabat bertanya: “Apakah jihad yang besar itu?” Beliau bersabda: “Jihadnya hati melawan hawa nafsu.”
Menurut Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (2/6) hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Az Zuhd. Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Takhrijul Kasyaf (4/114) juga mengatakan hadits ini diriwayatkan oleh An Nasa’i dalam Al Kuna.
Hadits ini adalah hadits palsu. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam di Majmu Fatawa (11/197), juga oleh Al Mulla Ali Al Qari dalam Al Asrar Al Marfu’ah (211). Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (2460) mengatakan hadits ini Munkar.
Hadits ini sering dibawakan para khatib dan dikaitkan dengan Ramadhan, yaitu untuk mengatakan bahwa jihad melawan hawa nafsu di bulan Ramadhan lebih utama dari jihad berperang di jalan Allah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Hadits ini tidak ada asalnya. Tidak ada seorang pun ulama hadits yang berangapan seperti ini, baik dari perkataan maupun perbuatan Nabi. Selain itu jihad melawan orang kafir adalah amal yang paling mulia. Bahkan jihad yang tidak wajib pun merupakan amalan sunnah yang paling dianjurkan.” (Majmu’ Fatawa, 11/197). Artinya, makna dari hadits palsu ini pun tidak benar karena jihad berperang di jalan Allah adalah amalan yang paling mulia. Selain itu, orang yang terjun berperang di jalan Allah tentunya telah berhasil mengalahkan hawa nafsunya untuk meninggalkan dunia dan orang-orang yang ia sayangi.
Hadits 11
قال وائلة : لقيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم عيد فقلت : تقبل الله منا ومنك ، قال : نعم تقبل الله منا ومنك
“Wa’ilah berkata, “Aku bertemu dengan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pada hari Ied, lalu aku berkata: Taqabbalallahu minna wa minka.” Beliau bersabda: “Ya, Taqabbalallahu minna wa minka.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al Majruhin (2/319), Al Baihaqi dalam Sunan-nya (3/319), Adz Dzahabi dalam Al Muhadzab (3/1246)
Hadits ini didhaifkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhuafa (7/524), oleh Ibnu Qaisirani dalam Dzakiratul Huffadz (4/1950), oleh Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (5666).
Yang benar, ucapan ‘Taqabbalallahu Minna Wa Minka’ diucapkan sebagian sahabat berdasarkan sebuah riwayat:
كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا التقوا يوم العيد يقول بعضهم لبعض : تقبل الله منا ومنك
Artinya:
“Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya ketika saling berjumpa di hari Ied mereka mengucapkan: Taqabbalallahu Minna Wa Minka (Semoga Allah menerima amal ibadah saya dan amal ibadah Anda)”
Atsar ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al Mughni (3/294), dishahihkan oleh Al Albani dalam Tamamul Minnah (354). Oleh karena itu, boleh mengamalkan ucapan ini, asalkan tidak diyakini sebagai hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.
Hadits 12
خمس تفطر الصائم ، وتنقض الوضوء : الكذب ، والغيبة ، والنميمة ، والنظر بالشهوة ، واليمين الفاجرة
“Lima hal yang membatalkan puasa dan membatalkan wudhu: berbohong, ghibah, namimah, melihat lawan jenis dengan syahwat, dan bersumpah palsu.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al Jauraqani di Al Abathil (1/351), oleh Ibnul Jauzi di Al Maudhu’at (1131)
Hadits ini adalah hadits palsu, sebagaimana dijelaskan Ibnul Jauzi di Al Maudhu’at (1131), Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (1708).
Yang benar, lima hal tersebut bukanlah pembatal puasa, namun pembatal pahala puasa. Sebagaimana hadits:
من لم يدع قول الزور والعمل به والجهل ، فليس لله حاجة أن يدع طعامه وشرابه
“Orang yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya, serta mengganggu orang lain, maka Allah tidak butuh terhadap puasanya.” (HR. Bukhari, no.6057)
Demikian, semoga Allah memberi kita taufiq untuk senantiasa berpegang teguh pada ajaran Islam yang sahih. Mudah-mudahan Allah melimpahkan rahmat dan ampunannya kepada kita di bulan mulia ini. Semoga amal-ibadah di bulan suci ini kita berbuah pahala di sisi Rabbuna Jalla Sya’nuhu.
وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
***
Disusun oleh: Yulian Purnama
Muraja’ah: Ustadz Abu Ukkasyah Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id