![]() ![]() | ||||
Di
tengah masyarakat muslim di negeri ini, sudah sangat ma’ruf perihal
melafazhkan niat. Inilah ajaran yang sudah turun temurun diajarkan dan
mendarah daging di tubuh umat. Silakan saja kita menoleh pada keseharian
ibadah shalat, ada niat yang dilafazhkan semacam “usholli fardhu shubhi
...”. Begitu pula halnya dalam hal ibadah puasa, ada niat yang
dilafazhkan semacam “nawaitu shouma ghodin”. Namun sudahkah kita
meninjau kembali tentang ajaran dari pak kyai atau pak ustadz ini?
Seperti inikah yang diajarkan oleh baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Padahal dalam setiap ibadah selain ikhlas lillahiTa’ala, kita pun harus senantiasa mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Risalah
singkat ini mudah-mudahan dapat membuka pikiran para pembaca
rumayhso.com sekalian, apakah sudah benar praktek-praktek ibadah yang
dilakukan selama ini. Semoga Allah memberi taufik.
Memang Niat Syarat Diterimanya Ibadah
Niat merupakan syarat sahnya suatu ibadah. Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung dari niatnya.”[1]
Selanjutnya kita akan melihat penjelasan Ibnu Taimiyah mengenai niat. Sengaja penulis bagi bertahap dalam beberapa point.
Kata Sepakat Ulama, Niat Cukup dalam Hati
Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah
ditanya mengenai niat di awal berbagai ibadah seperti ketika mengawali
shalat dan ibadah lainnya. Apakah niat ketika itu harus diucapkan di
lisan semisal dengan ucapan “nawaitu ashumu” (saya berniat untuk puasa),
atau “usholli” (saya berniat untuk shalat)? Apakah seperti itu wajib
dilakukan?
Beliau rahimahullah menjawab, “Segala puji
bagi Allah. Niat thoharoh (bersuci) seperti akan berwudhu, mandi,
tayamum, niat shalat, puasa, haji dan zakat, menunaikan kafaroh, serta
berbagai ibadah lainnya, niat tersebut tidak perlu dilafazhkan. Bahkan
yang benar, letak niat adalah di hati dan bukan di lisan, inilah yang disepakati para ulama.
Seandainya seseorang salah mengucapkan niat lewat lisannya, lalu
berbeda dengan apa yang ada di hatinya, maka yang jadi patokan adalah
apa yang ada di hatinya, bukan apa yang ia ucapkan (lafazhkan).
Kekeliruan Sebagian Ulama Syafi’iyah Tentang Anjuran Melafazhkan Niat
Tentang
masalah niat letaknya di hati sebenarnya tidak ada beda pendapat di
kalangan ulama dalam masalah ini. Namun yang aneh adalah sebagian ulama
Syafi’iyah belakangan –semoga Allah merahmati mereka-. Mereka
mengeluarkan pendapat yang keliru. Kekeliruan mereka ini disebabkan
perkataan Imam Syafi’i, “Shalat harus ada pelafalan di awalnya”.
Maksud Imam Syafi’i di sini adalah takbir, artinya takbir itu wajib di
awal shalat. Namun sebagian ulama Syafi’iyah salah paham. Mereka sangka
bahwa yang dimaksud Imam Syafi’i adalah melafazhkan niat. Jadilah mereka
keliru dalam hal ini.
Melafazhkan Niat antara Lirih dan Dikeraskan
Para
ulama berselisih pendapat, apakah disunnahkan melafazhkan niat dengan
suara lirih ataukah dikeraskan. Ada dua pendapat dalam masalah ini di
kalangan ahli fiqih. Sekelompok pengikut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i
dan Imam Ahmad berpendapat disunnahkannya melafazhkan niat, tujuannya
adalah untuk menguatkan maksud.
Sedangkan ulama lainnya, yaitu sekelompok pengikut Imam Malik, Imam Ahmad dan selainnya menyatakan tidak disunnahkan melafazhkan niat.
Alasannya, karena hal itu termasuk perkara yang tidak ada landasannya.
Melafazhkan niat sama sekali tidak ada dasarnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga tidak ada contohnhya dari para sahabat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tidak memerintahkan kepada salah seorang dari umatnya untuk melafazhkan niat. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
tidak mengajarkannya kepada salah seorang dari kaum muslimin.
Seandainya melafazhkan niat memang sudah dikenal di masa kenabian dan
disyari’atkan, tentu akan diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, karena umat ketika itu melakukan ibadah siang dan malam. Pendapat yang menyatakan melafazhkan niat itu tidak ada tuntunannya, itulah pendapat yang lebih kuat.
Keanehan Anjuran Melafazhkan Niat
Bahkan melafazhkan niat sungguh menunjukkan dangkalnya akal dan agama seseorang.
Dari sisi agama, melafazhkan niat adalah suatu ajaran yang tidak ada
tuntunannya. Dari sisi akal sehat, contoh melafazhkan niat sebagaimana
halnya orang yang hendak makan. Lantas ia berniat, “Saya berniat untuk
meletakkan tanganku di piring ini ....[2]”
Maka ini semisal dengan ucapan orang melafazhkan niat, “Aku berniat
shalat wajib pada saat ini sebanyak empat raka’at secara berjama’ah
dikerjakan tepat waktu karena Allah Ta’ala.” Kerjaan seperti melafazhkan
niat ketika makan, tentu saja kerjaan orang bodoh dan jahil. Yang
namanya niat adalah sampainya ilmu, artinya jika sampai ilmu untuk
melakukan sesuatu, maka berarti telah niat secara pasti. Jika seseorang
ingin mengerjakan sesuatu, maka secara logika tidak mungkin ia
melakukannya tanpa niat. Begitu pula tidak mungkin seseorang yang tidak
punya kehendak apa-apa dikatakan telah berniat.
Melafazhkan Niat dengan Dikeraskan
Adapun mengenai melafazhkan niat dengan dikeraskan, sampai berulang kali, maka ini sungguh tidak dianjurkan berdasarkan kesepakatan ulama.
Orang yang terbiasa mengeraskan lafazh niatnya, maka pantas ia
mendapatkan hukuman agar ia tidak terjerumus lagi dalam amalan keliru
yang tanpa tuntunan, agar ia pun tidak menyakiti orang lain. Dalam
hadits pun telah disebutkan,
أَيُّهَا النَّاسُ كُلُّكُمْ يُنَاجِي رَبَّهُ فَلَا يَجْهَرَنَّ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ بِالْقِرَاءَةِ
“Wahai
sekalian manusia, kalian sungguh sedang bermunajat dengan Rabbnya. Oleh
karenanya, janganlah sebagian kalian mengeraskan qiroah (bacaan al
Qur’an) kalian di sisi yang lain.”
Bagaimana bisa dibenarkan
jika seseorang memberikan was-was pada orang lain dengan lafazh
niatnya, padahal itu tidak termasuk qiro’ah (bacaan al Qur’an)?
Bahkan kami katakan bahwa melafazhkan niat seperti mengatakan, “Aku berniat melakukan shalat demikian dan demikian, pada waktu ini dan itu”, ini adalah amalan yang tidak dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Demikian
penjelasan dari Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa yang sengaja
penulis bagi dalam point demi point demi memudahkan pembaca.[3]
Bukti dari Ulama Syafi’iyah
Setelah
kami buktikan lewat uraian dari Ibnu Taimiyah di atas, kami pun
selanjutnya membuktikan dengan perkataan ulama lainnya. Kami akan
membawakan perkataan dua ulama besar Syafi’iyah tentang masalah ini.
Sungguh aneh jika kita perhatikan dengan seksama praktek pengikut
Syafi’iyah saat ini dengan imam mereka.
Ulama pertama, Yahya bin Syarf An Nawawi rahimahullah yang masyhur dengan sebutan Imam Nawawi pernah mengatakan dalam salah satu kitabnya,
لَا يَصِحُّ الصَّوْمَ إِلَّا بِالنِّيَّةِ وَمَحَلُّهَا القَلْبُ وَلَا يُشْتَرَطُ النُّطْقُ بِلاَ خِلَافٍ
“Tidaklah
sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati,
tidak disyaratkan untuk diucapkan. Masalah ini tidak terdapat
perselisihan di antara para ulama.”[4] Coba perhatikan baik-baik apa yang beliau utarakan. Letak niat di dalam hati dan tidak perlu dilafazhkan di lisan.
Ulama Syafi’iyah lainnya yang berbicara tentang niat yaitu Asy Syarbini rahimahullah. Beliau mengatakan,
وَمَحَلُّهَا
الْقَلْبُ ، وَلَا تَكْفِي بِاللِّسَانِ قَطْعًا ، وَلَا يُشْتَرَطُ
التَّلَفُّظُ بِهَا قَطْعًا كَمَا قَالَهُ فِي الرَّوْضَةِ
“Niat
letaknya dalam hati dan tidak perlu sama sekali dilafazhkan. Niat sama
sekali tidak disyaratkan untuk dilafazhkan sebagaimana ditegaskan oleh
An Nawawi dalam Ar Roudhoh.”[5]
Dikuatkan dengan Ucapan Ibnu Taimiyah
Kedua pendapat ulama Syafi’iyah semakin dikuatkan dengan perkataan Ibnu Taimiyah. Beliau rahimahullah mengatakan,
وَالنِّيَّةُ
مَحَلُّهَا الْقَلْبُ بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ ؛ فَإِنْ نَوَى بِقَلْبِهِ
وَلَمْ يَتَكَلَّمْ بِلِسَانِهِ أَجْزَأَتْهُ النِّيَّةُ بِاتِّفَاقِهِمْ
“Niat
itu letaknya di hati berdasarkan kesepakatan ulama. Jika seseorang
berniat di hatinya tanpa ia lafazhkan dengan lisannya, maka niatnya
sudah dianggap sah berdasarkan kesepakatan para ulama.”[6]
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Siapa saja yang menginginkan
melakukan sesuatu, maka secara pasti ia telah berniat. Semisal di
hadapannya disodorkan makanan, lalu ia punya keinginan untuk
menyantapnya, maka ketika itu pasti ia telah berniat. Demikian ketika ia
ingin berkendaraan atau melakukan perbuatan lainnya. Bahkan jika
seseorang dibebani suatu amalan lantas dikatakan tidak berniat, maka
sungguh ini adalah pembebanan yang mustahil dilakukan. Karena setiap
orang yang hendak melakukan suatu amalan yang disyariatkan atau tidak
disyariatkan pasti ilmunya telah mendahuluinya dalam hatinya, inilah
yang namanya niat.”[7]
Renungan
Setelah
pembaca sekalian membaca sendiri dengan seksama, apa yang bisa pembaca
sekalian simpulkan? Coba bandingkan manakah yang jadi petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang bukan? Apakah benar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan
melafazhkan niat? Kalau iya, tentu saja beliau akan mengajarkan pada
para sahabat dan itu pun sampai kepada kita sebagaimana diberitakan
dalam hadits. Namun tidak pernah kita saksikan orang yang menganjurkan
melafazhkan niat “usholli fardhu ...”, “nawaitu wudhua ...”, atau
“nawaitu shouma ghodin ...”, membuktikan bahwa amalan tersebut
berdasarkan hadits Bukhari, Muslim dan lain sebagainya. Lantas pantaskah
ibadah dibuat-buat tanpa ada dasar? Ataukah seharusnya kita ikuti
ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja?
Sungguh sederhana dalam petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih baik daripada berlebih-lebihan namun dalam amalan yang tanpa tuntunan. Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sederhana memerintahkan berniat cukup dalam hati, tanpa perlu menghafal berbagai lafazh niat untuk diucapkan.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ
“Ikutilah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
janganlah membuat amalan yang tanpa tuntunan. Karena petunjuk beliau
sudah cukup bagi kalian. Semua amalan tanpa tuntunan adalah sesat.”[8]
Silakan
pembaca merenungkan sendiri, manakah yang benar, perlukah melafazhkan
niat ataukah tidak? Namun tentu saja itu berdasarkan ilmu dan bukan
sekedar menurut hawa nafsu semata atau manut pada apa kata pak kyai
semata.
Hanya Allah yang beri taufik.
Disusun di Panggang-GK, 15 Sya’ban 1431 H (27/07/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.rumaysho.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar