Segala puji bagi Allah Rabb sekalian alam, sholawat dan salam bagi Nabi yang ummiy Al Amin, juga untuk keluarga dan para sahabatnya.
Suatu hal yang seringkali menjadi perbincangan adalah penetapan ada atau tidaknya bid’ah hasanah dalam dinul islam yang telah Allah sempurnakan ini.
Maka dalam tulisan saya ini, insya allah pembahasan akan saya titik beratkan pada tiga hal berikut ini:
1. Penegasan bahwa semua bid’ah adalah sesat, dengan dalil dari Al Qur’an dan Sunnah serta Atsar dari para sahabat Rasulullah, sesuai dengan penjelasan para ulama
2. Penjelasan dalil-dalil yang digunakan oleh orang yang menganggap adanya bid’ah hasanah, khususnya dalil-dalil yang biasa digunakan oleh pendebat
3. Penegasan bahwa tidak ada bid’ah hasanah dalam islam
Barangsiapa yang bersikap adil dalam membaca tulisan ini, maka akan dapat mengetahui secara pasti bahwasanya tidak ada bid’ah hasanah dalam islam. Walaupun hawa nafsu sebagian manusia menolaknya.
Maka aku wasiatkan kepada diri kami sendiri dan kepada saudaraku semuanya, untuk mengingat kembali firman Allah subhanahu wa ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biar pun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau pun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (An Nisaa: 135)Jika hal ini telah dipahami, maka saya akan memulai untuk masuk kepada pembahasan inti dari tulisan ini.
Poin Pertama: Penegasan Kembali, Bahwa Semua Bid’ah Adalah Sesat
Poin ini hendaknya benar-benar mendapat perhatian yang lebih dari pembaca, dan hendaknya membacanya dengan sikap adil dan tidak memihak kepada kebatilan, disini akan disebutkan dalil-dalil dari Al Qur’an yang mulia dan Sunnah yang suci tentang sesatnya perbuatan bid’ah, beserta beberapa penjelasan dari para ulama tentang dalil-dalil tersebut.
Dalil Pertama:
Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al Maidah: 3)Telah berkata Imam Malik bin Anas rahimahullah:
“Barangsiapa mengada-adakan di dalam islam suatu kebid’ahan yang dia melihatnya sebagai suatu kebaikan, ia telah menuduh bahwa Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam mengkhianati risalah, karena Allah Ta’ala berfirman: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.”Maka sesungguhnya yang tidak menjadi bagian dari agama pada hari itu (hari pada saat ayat ini turun –ag), tidak menjadi bagian dari agama pula pada hari ini.” (Al I’tishom, Imam Asy Syatibi 1/64)
Berkata Al Imam Asy Syaukani rahimahullah:
“Maka sungguh, apabila Allah subhanahu wa ta’ala telah menyempurnakan agamaNya sebelum mematikan Nabi-Nya Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam, bagaimana dengan pendapat orang yang mengada-adakan setelah Allah menyempurnakan agamaNya?! Seandainya sesuatu yang mereka ada-adakan termasuk dalam urusan agama, berarti (mereka menyatakan bahwa –ag) belum sempurna agama ini, ini berarti mereka telah menolak Al Qur’an, dan jika apa yang mereka ada-adakan bukan termasuk dari urusan agama, maka apa faedahnya menyibukkan diri dengan sesuatu yang bukan dari urusan agama?
Ini adalah hujjah yang terang dan dalil yang agung, tidak mungkin orang yang mengandalkan akalnya dapat mempertahankan hujjahnya selama-lamanya. Maka jadikanlah ayat yang mulia ini sebagai hujjah yang pertama kali memukul wajah ra’yi (orang yang mengandalkan akalnya) dan menusuk hidung-hidung mereka dan mematahkan hujjah mereka. (Al Qoulul Mufid fi Adillati Al Ijtihad wa At Taqlid hal. 38)
Dalil Kedua:
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda
“Barangsiapa yang hidup diantara kalian sepeninggalku, niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu kalian wajib berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin yang berpetunjuk (yang datang) sesudahku, gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian. Dan jauhilah perkara-perkara baru yang diada-adakan (dalam urusan agama, -ag), karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ad Darimi)
Telah berkata Al Imam Ibnu rajab rahimahullah:
“Sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (semua bid’ah adalah sesat) merupakan kata yang menyeluruh, dan tidak ada pengecualian sedikitpun dan merupakan dasar yang agung dari dasar-dasar agama.” (Jami’ul Ilmi hal. 549)
Telah berkata Al Imam Ibnu Hajar rahimahullah:
“Sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (semua bid’ah adalah sesat) merupakan qoidah syar’iyyah yang menyeluruh baik lafadz maupun maknanya. Adapun lafadznya, seolah-olah mengatakan “Ini hukumnya bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat.”
Maka, bid’ah tidak termasuk bagian dari syariat, karena semua syariat adalah petunjuk (bukan kesesatan –ag), apabila telah tetap bahwa hukum yang disebut itu adalah bid’ah, maka ditetapkanlah كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (semua bid’ah adalah sesat) baik secara lafadz maupun maknanya, dan inilah yang dimaksud. (Fathul Baari 13/254)
Berkata Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah:
“Sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (semua bid’ah adalah sesat) makna yang terkandung didalamnya bersifat menyeluruh, umum, mencakup dan didukung dengan kata yang kuat. Mencakup dan umum pula yaitu pada lafadz كُلُّ (semua). Maka segala sesuatu yang didakwahkan sebagai bid’ah hasanah, jawabannya adalah dengan ucapan diatas, sehingga tidak ada pintu masuk bagi ahlul bid’ah untuk menjadikan bid’ah mereka sebagai bid’ah hasanah, dan ditangan kami ada pedang yang sangat tajam dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, yakni كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (semua bid’ah adalah sesat).
Pedang yang sangat tajam ini dibuat di atas nubuwah dan risalah, dan tidak dibuat di atas sesuatu yang goyah, dan bentuk kalimat yang digunakan oleh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam ini sangat jelas, maka tidak mungkin seseorang menandingi pedang yang tajam ini dengan mengatakan adanya bid’ah hasanah (bid’ah yang baik –ag), sementara Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (semua bid’ah adalah sesat). (Al Ibda fi Kamalisy Syar’i wa Khothiri Al Ibtida’ hal. 13)
Dalil Ketiga:
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa mengada-adakan dalam urusan kami ini perkara yang tidak ada asalnya, maka hal itu tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)Berkata Al Imam Asy Syaukani rahimahullah:
“Hadits ini termasuk pondasi pokok agama, karena termuat di dalamnya banyak hukum yang tidak bisa dibatasi. Betapa jelas sumber dalil untuk membatalkan ahli fiqh yang berpendapat bahwa bid’ah itu terbagi menjadi beberapa bagian, dan penolakan mereka secara khusus tentang sebagian di dalamnya, sementara tidak ada pengkhususan (yang dapat diterima) baik dari dalil aqli maupun naqli (dari qur’an maupun sunnah –ag)
Dalil Keempat:
قَالَ عَبْدُ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رضي الله عنه اِتَّبِعُوْا وَلاَ تَبْتَدِعُوْا، فَقَدْ كُفِيْتُمْ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Berkata Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu’anhu: “Ikutilah (tuntunan rasulullah –ag), dan jangan kalian berbuat bid’ah, sungguh telah cukup bagi kalian, dan semua bid’ah adalah sesat.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Baththah dalam Al Ibanah no 175 (1/327, 328), dan Al Lalika’I no. 104 (1/86))Dalil Kelima:
Berkata Abdullah bin Umar radhiyallaahu’anhu: “Semua bid’ah adalah sesat, walaupun manusia melihatnya baik.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Baththah dalam Al Ibanah no 205 (1/339), dan Al Lalika’I no. 126 (1/92))
Dengan ini jelaslah bahwa semua bid’ah adalah sesat, sebagaimana penjelasan ulama terhadap Ayat Al Qur’an dan Hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam yang menerangkannya.
Poin Kedua: Penjelasan dalil-dalil yang digunakan oleh orang yang menganggap adanya bid’ah hasanah, khususnya dalil-dalil yang digunakan oleh pendebat.
DALIL YANG PERTAMA:
Pendebat menetapkan dua macam bid’ah; bid’ah yang memberikan petunjuk dan bid’ah kesesatan, pendebat berdalilkan dengan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ . ومَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah (sunnah yang baik) dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu sunnah sayyiah (sunnah yang jelek) dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR. Muslim)Dalil ini tidak bisa digunakan sebagai penetapan adanya bid’ah hasanah dikarenakan beberapa alasan:
ALASAN PERTAMA:
Bahwasanya makna مَنْ سَنَّ (Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah) pada hadits diatas ialah: Mengerjakan amal dalam rangka melaksanakan atau mengikuti, bukan dengan membuat syariat yang baru. Adapun maksud hadits tersebut adalah; beramal dengan apa-apa yang telah ditetapkan dalam sunnah nabawi, hal ini sebagaimana yang ditunjukkan oleh Asbabul wurud hadits ini, yaitu tentang shodaqoh yang telah disyariatkan.
Sababul wurud (sebab terjadinya) hadits ini sudah dikenal, yaitu ketika orang-orang Arab yang miskin datang menemui Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam. Beliau trenyuh melihat keadaan mereka dan merasa sangat sedih karenanya. Maka beliau pun memerintahkan dan mendorong para shahabatnya untuk bersedekah. Lalu berdirilah seseorang dari kalangan shahabat untuk memberikan sedekahnya berupa makanan sepenuh telapak tangannya. Kemudian manusia pun berturut-turut memberikan sedekah karena mencontoh orang ini, karena memang dialah yang pertama kali membuka jalan bagi mereka. Saat itulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً
“Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam…”Orang ini telah melakukan amalan sunnah, yaitu bersedekah dan membantu orang yang membutuhkan. Sedangkan sedekah diperintahkan dalam Al-Kitab dan As-Sunnah, maka sedekah merupakan sunnah hasanah, bukan bid’ah. Siapa yang menghidupkan, mengamalkan, dan menerangkannya pada manusia hingga mereka pun mengamalkan dan mencontohnya dalam melakukan amalan/sunnah tersebut, orang itu mendapatkan pahala semisal pahala mereka.” (Dhahiratut Tabdi’ wat Tafsiq wat Takfir wa Dhawabithuha, hal. 42, 47-48)
Al-Imam Abu Ishaq Asy-Syathibi rahimahullah dalam kitabnya yang masyhur Al-I’tisham (1/233 dan 235) menyatakan bahwa dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas tidaklah sama sekali menunjukkan bolehnya mengada-adakan perkara baru, tapi justru menunjukkan pengamalan suatu sunnah yang tsabit (pasti) keberadaannya, sehingga sunnah hasanah bukanlah perkara mubtada’ah (yang diada-adakan/ bid’ah).
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata ketika mensyarah (menjelaskan) hadits yang agung ini: “Dalam hadits ini ada dorongan untuk mengawali melakukan amalan-amalan kebaikan dan mengerjakan sunnah-sunnah hasanah (menghidupkan perkara kebaikan yang telah ditinggalkan oleh orang-orang dan menghidupkan sunnah yang telah mati, –ag.). Dan (dalam hadits ini juga) terdapat peringatan untuk tidak melakukan perkara kebatilan dan kejelekan.”
Beliau rahimahullah juga menyatakan bahwa hadits ini menunjukkan keutamaan yang besar bagi orang yang memulai melakukan satu amalan kebaikan dan menjadi pembuka pintu amalan ihsan/ kebaikan bagi lainnya. Dan barangsiapa yang melakukan sunnah hasanah, ia akan mendapatkan pahala semisal dengan pahala-pahala yang didapatkan oleh orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut (karena mencontohnya) semasa hidupnya ataupun setelah matinya sampai hari kiamat. Dan sebaliknya, barangsiapa membuat sunnah sayyiah, niscaya ia akan mendapatkan dosa semisal dosa orang-orang yang menirunya dalam melakukan sunnah tersebut semasa hidupnya atau sepeninggalnya sampai hari kiamat. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 7/105-106, 16/443-444)
ALASAN KEDUA:
Bahwasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً (barangsiapa yang mengerjakan dalam islam sunnah yang baik), sementara beliau juga bersabda كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (semua bid’ah adalah sesat).
Sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam saling mendukung antara satu dengan yang lainnya, dan tidak mungkin muncul dari Ash-Shadiqul Mashduq (Rasul yang benar dan dibenarkan) Shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu perkataan yang mendustakan ucapannya yang lain. Tidak mungkin pula perkataan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam saling bertentangan. Maka dari semua sabda beliau dapat diketahui bahwa maksud hadits diatas adalah menghidupkan kembali sunnah dan memunculkannya ke permukaan.
Dengan alasan ini, maka tidak boleh kita mengambil satu hadits dan mempertentangkannya dengan hadits yang lain. Karena sesungguhnya ini adalah seperti perbuatan orang yang beriman kepada sebagian Al-Kitab tetapi kafir kepada sebagian yang lain.
ALASAN KETIGA:
Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan مَنْ سَنَّ (barangsiapa membuat sunnah), beliau tidak mengatakan مَنِ ابْتَدَعَ (barangsiapa yang membuat bid’ah).
Juga mengatakan فِي اْلإِسْلاَمِ (dalam Islam). Sedangkan bid’ah bukan dari ajaran Islam.
Beliau juga mengatakan حَسَنَةً (yang baik). Dan perbuatan bid’ah itu bukanlah sesuatu yang hasanah (baik).
Tidak ada persamaan antara As Sunnah dengan bid’ah, karena sunnah itu adalah jalan yang diikuti, sedangkan bid’ah adalah perkara baru yang diada-adakan di dalam agama.
ALASAN KEEMPAT:
Tidak satupun kita dapatkan keterangan yang dinukil dari salafush shalih menyatakan bahwa mereka menafsirkan Sunnah Hasanah itu sebagai bid’ah yang dibuat-buat sendiri oleh manusia.
Bersambung…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar